“Hei, Adina! Ini aku
Joan. Hahaha… aneh sekali ya aku ini? Untuk apa aku meneleponmu di tengah malam
seperti ini? Pasti bunyi telepon apartemenmu sangat mengganggu tidurmu, bukan?
Yah, maafkan aku jika memang aku ini mengganggumu…. Hmm… entahlah, Adina. Entah
mengapa jemari tanganku bergerak dengan sendirinya memencet nomor teleponmu.
Mungkin karena aku sangat merindukanmu saat ini… hahaha… ya, mungkin. Entahlah,
Adina…. Ah! Ya, memang benar begitu, Adina… aku sangat merindukanmu, bahkan
amat sangat merindukanmu… I just can’t stop
thinking about you, Adina… wherever… and whenever I am… I always think
about you… and since the day I met you… I’ve fallen in love with you, Adina…
I know it sounds weird. But, that’s the fact, Adina… sudah lama
aku memendam perasaan ini, hmm… mungkin kurang lebih sudah sepuluh tahun
lamanya, hahaha… bodoh sekali ya aku ini memendam perasaan selama itu? Well…
aku tidak bisa terus-menerus membohongi perasaanku sendiri… ik hou van
je—aku mencintaimu, Adina.”
Bip….
Sungguh aneh, bahkan
amat sangat aneh ketika mendengarnya. Kedua sudut bibirku terangkat—dengan
sendirinya—mengingat kembali akan tingkah lakunya saat di pesta pernikahan Adam
dan Fay. Dan, seketika perasaan aneh itu muncul kembali, merusak segala setiap
syaraf-syaraf yang tak terkendali, dan hal ini sangat sulit sekali dimengerti.
Bagaimana bisa? Batinku. Ya, bagaimana bisa aku merasakan hal seperti
ini. Dan, rasanya perasaan aneh ini semakin terasa sangat kuat dan semakin
menguatkan segala keyakinanku akan....
Entahlah, aku masih
belum bisa dan belum begitu yakin untuk mengartikannya. Ini benar-benar amat
sangat aneh. Ya, aneh. Aku tidak akan pernah bosan untuk mengatakan ini adalah
sesuatu perasaan yang sangat aneh untuk dirasakan, dan yang pastinya sangat
sulit dimengerti oleh logika.
Kupandangi telepon di
sampingku sembari tersenyum. Benarkah itu Joan? Benarkah Joan telah
mengatakannya?
♣♣♣
Kupandangi raut wajah
Fay yang tidak berubah sama sekali atas pengakuanku padanya, justru ia menarik
senyum.
"Adina...,"
Fay menarik senyum, "aku sudah tahu akan hal itu. Tapi, aku tahu, cintamu
pada Adam bukanlah cinta yang sesungguhnya."
Kedua alisku bertaut,
tak mengerti dengan tanggapannya yang seperti itu. "Mengapa kau bisa
menganggap rasa cintaku pada Adam seperti itu?"
Fay menghela napas
panjang. "Adina, hal itu sangat terlihat jelas dari caramu memandanginya,
kau memandangi Adam bukan dengan sorotan akan cinta, melainkan akan kekagumanmu
yang mendalam. Berbeda dengan saat kau memandangi... Joan."
Seketika kedua mataku
terbelalak saat mendengar Fay menyebutkan nama itu. Joan? Bagaimana bisa Fay
mengaitkannya pada Joan?
"Ya, kau pasti
kaget sekali mengapa tiba-tiba bisa kubawa-bawa nama Joan, bukan?"
Aku mengangguk
segera.
"Adina, tidakkah
kau menyadarinya kalau selama ini ada seorang lelaki yang begitu sabar dan
setia menunggumu—menunggu akan cintamu—lelaki yang begitu sangat tulus mencintaimu?
Apakah kau menyadari akan hal itu? Sebenarnya lelaki itu sangatlah dekat
dengamu, bahkan amat sangat dekat dengan—"
"Fay,"
potongku dengan cepat, "to the whole point, please!"
Fay menghela napas
panjang lagi, sejenak ia memandangiku dengan seksama. "Lelaki itu Joan,
Adina. Ya, Joan. Walaupun belum lama aku mengenalnya, tapi aku tahu akan hal
itu karena terlihat begitu jelas dari segala yang ada pada dirinya jika sedang
menghadapimu. Dan, Adam juga mengetahui akan hal itu sudah lama, sejak saat
kali pertamanya kau memperkenalkan Joan pada Adam... dan, Adam pun mengetahui
kalau kau menaruh perasaan padanya."
Kedua mataku
membelalak sejadi-jadinya. Jadi, Adam telah... Astaga! Bagaimana mungkin bisa?
Apa terlihat begitu jelaskah? Dan, soal Joan... jadi, benar dengan pesan suara
kemarin malam itu? Sepuluh tahun yang lalu?
Ya, Tuhan, mengapa
aku begitu bodoh karena tidak menyadari akan hal itu? Mengapa bisa aku selama
ini tidak mengetahuinya?
"Percayalah
padaku, percayalah pada hatimu sendiri, Adina. Kau mencintai Joan. Aku tahu
sebenarnya kau memang merasakan hal itu, tapi kau selalu mencoba mengendalikan
pikiran dan hatimu kalau hal itu bukan benar adanya, sehingga kau beranggapan
kalau lelaki yang kau cintai itu adalah Adam." Fay meraih kedua telapak
tanganku. "Joan, Adina. Lelaki itulah yang selama ini selalu menunggu
balas cintamu, lelaki yang yang selama ini kau cintai, tapi kau belum
menyadarinya."
Kini rasanya perasaan
aneh itu telah mendapatkan jawaban yang selama ini tidak pernah terungkap.Dan,
entah mengapa, otak dan hatiku kembali bersatu untuk bekerja sama dengan baik,
menghasilkan sebuat satu kata yang selama ini tidak pernah kusadari. Satu kata
yang mungkin akan mengubah perjalanan hidup cintaku.
Ya, satu kata itu
adalah cinta.