Ini sungguh sulit. Aku tahu tidak seharusnya aku
merasakan hal ini. Aku tahu waktu memang tidak akan pernah berputar kembali.
Tapi, apa daya nasi yang sudah menjadi bubur? Dapatkah bubur kembali dibuat
menjadi nasi? Tentu saja tidak. Begitu tentang kisah ini.
Entahlah sudah berapa lama dan untuk berapa lama
lagi aku harus terus berpura senyum, tertawa, dan merasa semua baik-baik saja
di hadapannya. Dia sudah ada yang memilki dan itu bukan diriku, tentu saja. Betapa bodohnya aku ini! Rutukku dalam
hati.
“Papa kamu tukang kunci ya?”
“Iya, kok kamu tau? Karena aku sudah mengunci hatimu
ya, Sayang?” Nara menggelayut manja di tangan Denis.
“Bukan, soalnya aku mau buat kunci duplikat mobilku,
biasa buat jaga-jaga kalau hilang nanti,” balasnya sembari menyeringai kecil.
Dan aku, di sini, di hadapannya, hanya bisa menarik
tipis kedua sudut bibirku melihat kemesraan dua insan muda yang begitu terlihat
sangat… serasi. Yeah, kuakui itu. Dan
melihat hal itu selalu saja kata andaikan
melintas di pikiranku. Entahlah sudah berapa kali kusebut andaikan dalam hidupku, tak terhingga. Andaikan aku yang ada di samping kamu, Den.
Batinku bodoh. Sangat bodoh. Karena aku tahu itu tidak mungkin dan tidak akan
pernah mungkin terjadi.
Aku tersentak demi mendengar seseorang memanggil
namaku cukup keras dan itu Nara yang telah membuyarkan lamunanku.
“Are you okay,
Lana?” Denis kali ini yang bertanya.
Dan sudah pasti jawabanku sama seperti biasanya,
“Iya, baik-baik aja kok,” sembari menarik senyum.
“Lo kenapa sih, Lan, kok akhir-akhir ini lo tuh
sering banget ngelamun? Ngelamunin apaan sih? Ada masalah? Cerita dong ke gue!”
Denis menyeruput jus alpukat yang baru saja dipesannya.
Masalah? Ya, aku ada masalah dengan waktu. Aku ingin
waktu berputar kembali untukku. Aku ingin waktu kembali mendekatkan kamu dan
aku. Aku ingin waktu memberiku kesempatan untuk menyadari hal yang saat itu
tidak pernah kusadari, yaitu kamu. Tentang perasaanmu dan segala tentang dirimu
terhadapku.
Betapa bodonya dulu aku selalu menceritakan tentang
seseorang yang sama sekali tidak ada, hanya khayalan belaka. Entahlah apa yang
kamu rasakan saat itu jika aku sedang membicarakannya? Cemburu? Entahlah. Hanya
kamu dan Tuhan yang mengetahui isi hatimu. Dan kamu juga menceritakan
seseorang, tapi seseorang yang kamu ceritakan adalah nyata, tidak hanya
khayalan belaka, dan itu membuatku terluka.
“Gimana sama Nara, Den? BBM-an nggak semalem? Siapa
yang BBM duluan?” tanyaku padanya pada saat itu.
Denis hanya menyeringai kuda, wajahnya terlihat
kemerah-merahan. “Lo baca aja sendiri deh!” jawabnya seraya menyodorkan
ponselnya kepadaku.
Dan aku pun membuka percakapan antara Nara dan
Denis. Yang kulihat di sana, mereka tidak pernah memanggil nama satu sama
lainnya, melainkan menggunakan panggilan
sayang. Aran untuk Nara dan Sined untuk Denis yang mana hanya dibolak-balik
saja. Dan di setiap percakapan itu selalu menggunakan icon smile. Aku sempat tersenyum, tapi beberapa saat kemudian
terasa ada sayatan kecil di hati dan aku berusaha untuk mengabaikannya.
“Udah sejauh ini kenapa kamu masih belum nembak juga
sih, Den?” tanyaku, berpura antusias menanggapinya.
Denis menggaruk kepalanya yang kutahu sebenarnya
tidak gatal, ia hanya mencari jawaban.
“Pengen sih, Lan, cuma gue takut ditolak aja sama
dia.”
Mendengar jawabannya yang begitu sangat klise
seperti itu, kembali aku alihkan perhatianku ke ponsel miliknya. Tak sengaja
kubuka percakapan dirinya dengan Ayu, salah satu teman dekatnya sejak duduk di
bangku SMA.
Aku dipertemukan dengan beberapa deret kata-kata
yang sangat mengejutkanku pada saat itu. Seakan baru saja mendapatkan sengatan
listrik yang bertegangan 1000 volt demi melihat hal tersebut. Jadi, Denis sebenernya…. Batinku.
Mungkin pada saat itu aku masih cukup labil, karena
pada saat mengetahui isi percakapan Denis dan Ayu yang sangat mengejutkanku itu
aku langsung menghubungi Ayu dan memintanya bertemu di kantin Blok M.
“Ada apaan sih, Lan, kok muka lo serius amat
kayaknya?” tanya Ayu yang pada saat itu sudah duduk manis di hadapanku.
Aku menghela napas pajang sebelum bertanya,
membuatnya seolah biasa-biasa saja. “Gini, Yu. Umm… tadi aku nggak sengaja buka
BBM-an kamu sama Denis—”
“Seriusan?” sela Ayu cepat.
Aku bergumam lalu mengangguk. “Jadi, kamu tau apa
yang aku mau tanyain ke kamu?”
“Yeah, well…
sebenernya emang Denis itu suka sama lo, tapi itu dulu, Lan. Tapi, kalau
sekarang sih gue nggak tau gimana perasaan dia ke lo.”
“Dulu?”
Ayu mengangguk. “Iya, dulu. Waktu jaman-jamannya dia
masih baru pertama kenal lo pas briefing
MPA[1].
Tapi, lo dulu malah suka ngomongin si Arfan, cowok yang katanya lo suka dari
pertama masuk SMA ke Denis, kan? Dan asal lo tau aja, Lan, itu bener-bener
ngebuat dia galau lho, Lan! Gue jarang banget ngeliat dia galau soal cewek.
Nah, karena gue kasian ngeliat dia yang suka banget ngegalau kalo lagi cerita
sama gue, ya akhirnya gue kenalin aja deh si Nara ke Denis, yang kebetulan si
Nara juga udah suka sama Denis dari pertama kali ketemu…”
“Oh, begitu ya,” tanggapku sambil terkekeh pelan.
“Sori banget, Lan. Coba aja gue tau kalau lo emang
ternyata juga suka sama dia, pasti gue nggak akan ngenalin Nara ke Denis dan
gue akan ngasih tau ke elo gimana perasaan Denis sebenernya sama lo.”
“It’s okay, no
need to apologize. Lagipula juga udah berlalu, ya udahlah biarlah berlalu. Umm,
tolong jangan cerita-cerita ke Denis soal aku nanya kayak gini ya, Ayu.”
“Oke, tenang aja! Sekali lagi gue minta maaf banget
ya, Lan. Anyway, gue cabut duluan ya,
mau konsul sama dosen. Bye!”
Aku hanya menanggapinya dengan mengangguk dan Ayu
pun menghilang dari hadapanku.
Dan pada saat aku mengetahui yang sebenarnya seperti
itu, mulailah satu kata andaikan
terus memenuhi isi pikiranku. Yeah,
andaikan saja pada waktu itu aku tidak menceritakan sosok yang sebenarnya tidak
ada, tidak nyata. Arfan? Astaga, tidak
pernah ada Arfan dalam hidupku, Denis!
Saat aku hendak beranjak dari tempat, muncullah
sosok yang baru saja terlintas di benakku untuk menghampirinya kembali.
“Eits! Jangan pergi dulu, Lan!” cegahnya sebelum aku
benar-benar melangkah pergi meninggalkan kantin.
Aku pun kembali duduk berhdapan dengannya.
Kedua mata Denis bergerak ke kanan dan kiri beberapa
kali, seperti sedang mencari sesuatu tetapi tak dapat ditemukannya sesuatu
tersebut. “Nyari apa?” tanyaku heran melihat tingkahnya itu.
“Lo ngapain ke kantin tapi nggak pesen apa-apa?”
tanyanya balik.
“Tadi ada urusan sama temen sebentar. Ada apa sih?
Kamu tau dari mana kalau aku di kantin?”
Denis mengangguk. “Nggak sih, sebenernya gue cuma
mau beli minum aja terus kebetulan gue ngeliat lo, ya udah gue samperin aja.
Sekalian ada sesuatu yang mau gue omongin sama lo, Lan. Serius.” Seperti apa
yang diucapkannya, kini Denis beralih memasang mimik seriusnya. Aku tahu saat
di mana ia sedang berbicara serius dan sedang bercanda. Dan kali ini memang
sepertinya sangat serius.
Ia diam cukup lama, membuatku jengah dipandanginya
seperti itu, pandangan yang benar-benar membuatku salah tingkah dan merasakan
sesuatu yang aneh di dalam dada. Segala macam perasaan bergulat di dalam hati,
membuat rasa sesak yang tiada henti. Jantungku pun berdetak cukup cepat dan
kuat, atau bahkan memang sangat cepat dan kuat.
Lewat tiga menit dan Denis masih belum juga
memecahkan keheningan di antara kami. Astaga,
apa yang mau kamu katakan, Denis? Cepatlah katakan! Semakin lama kamu menunda
semakin tidak enak perasaanku ini.
“Ehem!”
Aku tersentak mendengar dehamannya.
Denis bergumam tidak jelas. “Jadi… jadi begini… duh,
nggak enak banget sih, Lan, ngomong beginian di kantin. Pindah ke tempat lain
aja, yuk! Ke pendopo pasca aja deh, lagi sepi juga tuh!” ujarnya sembari
beranjak dari tempat duduknya.
“Eh, tunggu! Emang boleh kita ke pendopo pasca? Kamu
liat sendiri kan di sana ada tulisan khusus pasca, Den?”
“Udah deh, tentang aja. Gue juga udah kenal sama
orang sana kok, bokap gue kan di sana.”
Belum sempat aku menanggapi ucapannya, Denis
langsung menarik lenganku. Dengan satu sentuhan tangannya yang seperti itu saja
sudah membuatku bergidik.
Setibanya di pendopo pasca yang jaraknya tidak
begitu jauh dari kantin Blok M, kami duduk berhadapan. Denis kembali mulai menatapiku
dengan tatapan yang sangat aneh dan sulit sekali dimengerti.
“So?”
Denis menghela napas panjang sebelum angkat bicara.
“Jadi… jadi begini, Lan… duh, gimana ya—”
“To the whole
point, please!”
“Oke, oke!” ia menghela napas lagi, lebih panjang.
“Jadi, sebenernya gue mau menyatakan perasaan gue yang sesungguhnya dan yang
sedalam-dalamnya perasaan gue ke…,” ia menggantung kalimatnya dan kali ini aku
benar-benar dibuat penasaran setengah mati olehnya!
“Ke…?” lanjutku.
“Ke… Nara.”
Deg….
….
Seakan saat itu juga jantungku benar-benar berhenti
berdetak demi mendengar kata terakhir yang terucapkan. Nara? Batinku perih. Lalu, entah mengapa aku terkekeh.
“Ya, Nara. Gue berniat buat nembak dia sekarang nih,
tapi gue nggak tau harus ngomong apa dan gimana ke dia, gue takut salah
ngomong, lo kan tau sendiri kalo gue nggak pernah nembak cewek, dan ini adalah
kali pertamanya gue nembak cewek, jadi—”
“Mi sono
innamorato di te[2].”
“Hah?”
“Eh, maksudku. Kamu tinggal bilang aja ke dia, mi sono innamorata di te. Dia bisa Bahasa
Italia, kan?”
“What a
brilliant idea, Lana! Oke, terus di mana gue harus ngomongnya?”
“Tempat bukanlah masalah untuk menyatakan sebuah
perasaan. Di mana pun tempatnya, yang terpenting adalah sebuah perasaan yang
tersampaikan.”
Denis bergumam. “Oke, deh. Tapi… lo mau kan, Lan,
temenin gue?”
“Sori, Den—”
“Please!
Untuk temen lo yang baru pertama mengatakan cinta ini kepada seorang cewek,
Lana. Apa lo tega?”
Kupandangi wajahnya sejenak sebelum aku menjawab,
“Baiklah.”
Denis kembali menarik lenganku meninggalkan pendopo.
Saat itu aku mengerti perasaan apa saat kulit kami bersentuhan. Perih. Sangat
perih. Membuat sayatan-sayatan kecil di hati yang terasa begitu amat sangat
perih.
Beberapa saat kemudian, kami sampai di pendopo FBS
yang saat itu sudah terlihat sepi walaupun masih ada yang berlalu-lalang. Dan
di sana kudapati Nara sedang duduk menyandar di tiang pendopo sembari sibuk
memainkan ponsel di tangannya. Sepertinya memang Denis sudah merencanakan
dengan matang untuk mengatakannya hari ini.
“Um, Den. Lebih baik kamu samperin sendiri ya, aku
tunggu di sini aja. Ini kan urusan antara kamu sama Nara. Aku nggak mau ganggu
momen-momen yang nggak akan kamu lupain nantinya.” Susah payah kucoba untuk
mengangkat kedua sudut bibirku. Dan semoga saja kilatan cahaya tidak terlihat
di mataku saat itu.
Denis hanya mengangguk dan tersenyum. Ia
berlari-lari kecil menghampiri Nara yang sibuk dengan ponselnya. Saat ia sudah
tepat berdiri di hadapanya, Nara mengangkat wajah sembari tersenyum, Denis
duduk tepat di sampingnya. Mereka berhadapan.
Mungkin saat itu aku terlalu lemah demi melihatnya.
Tak seharusnya aku berada di sana kalau hanya akan membuatku terluka, luka yang
begitu dalam menusuk jantung dan hati.
Dapatkah waktu berputar kembali ke tiga tahun silam?
Dapatkah waktu mengubah semua yang kelam? Dapatkah waktu mengembalikannya
padaku seperti dulu kala? Dapatkah waktu memberikan kebahagian antara aku dan
dirinya? Dapatkah waktu menghilangkan rasa pilu dan luka?
Aku terkekeh. Bagaimana mungkin bisa aku mengharapkan
semua itu terjadi? Apakah ada bubur yang kembali menjadi nasi? Mungkin waktu
memang sedang tidak berpihak padaku. Aku tahu kalau harapan yang ada hanyalah
sebuah harapan tajamnya paku, menusuk dan menyakitkan hatiku.
Inikah
akhir cerita cinta hidupku? Dan belum kutemukan
jawabannya sampai pada saat ini. Karena kutahu, semua akan indah pada waktunya.
***
“Lana!”
Aku tersentak kembali saat mendengar suara Nara.
Bukan, lebih tepatnya karena ia meremas lembut tanganku.
“Lana, lo baik-baik aja, kan? Baru juga dibilang
jangan ngelamun, eh malah ngelamun beneran,” ujar Denis
Aku menarik senyum tipis. “I’m okay…”
And
I’ll always be okay to see you happy with someone else. Life must go on.