Tampilkan postingan dengan label adult romance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adult romance. Tampilkan semua postingan

Iri, Berharap, dan Diam.

Iri? Ah, kenapa dan ada apa denganku saat ini? Mengapa perasaan itu terus saja timbul dan muncul tanpa permisi? Mengapa perasaan yang tidak baik seperti itu selalu saja menggerayangi pikiranku? Apa yang harus kulakukan untuk bisa menghilangkan perasaan itu? Bagaimana caranya? Beritahu aku!

Aku sudah cukup lelah dengan perasaan ini, aku lelah dengan harapan-harapan dan bayangan yang melintas di otak dan pikiranku setiap aku melihat mereka. Ya, mereka. Aku sungguh iri dengan mereka. Aku ingin seperti mereka!

Memang, tak ada yang sama, tak ada yang sempurna, tak ada yang sesuatu yang terjadi sesuai dengan harapan yang ada.

Harapan? Berharap? Diam? Yah, hanya itulah yang dapat aku lakukan dengan diiringi perasaan yang paling kubenci. Iri.

Aku akan selalu terus berusaha untuk bisa memahami, mengerti, dan menerima segala kenyataan yang ada di hadapanku. Dan, hanya satu cara yang hanya bisa kulakukan....


Diam.
Read more...

The Happiest But The Saddest

Apakah ini akhir? Atau hanya sebuah awalan? Entahlah, aku pun tak mengerti betul dengan apa yang sudah terjadi hari ini.

Sudah lama kunantikan hari ini untuk tiba, hari di mana saat ingin aku bisa bersamamu walau hanya sekejap, hari di mana saat aku sudah membayangkan kita akan makan bersama di meja makan, hari saat di mana aku sudah membayangkan kita akan berfoto bersama dengan hadiah kecil masing-masing, hari di mana saat aku sudah membayangkan akan tertawa bersama, hari di mana saat aku sudah membayangkan akan menceritakan suatu hal yang ingin sekali aku ceritakan, hari di mana saat aku sudah membayangkan bisa membuat rencana-renaca lagi untuk esok hari, hari yang sudah benar-benar amat sangat kutunggu-tunggu dengan semua rencana dan persiapan yang telah disiapkan secara apik!

Dan... tibalah hari ini... May 24, 2014... saat setahun lalu di mana kita... kau dan aku memulai kisah kasih... saat setahun perjalanan ini banyak sekali hal-hal indah dan buruk yang kita lalui bersama... aku senang sekali akhirnya hari ini tiba! Hari ini adalah hari yang paling amat sangat menyenangkan untukku!

Ya, memang akhirnya tiba juga hari yang sudah kunanti sejak lama. Hari yang mana akhirnya sebuah kisah juga berakhir. Hari yang mana akhirnya semua harapan, semua bayangan, semua pengorbanan, semua persiapan... pupus. Ya, pupus.

Mungkin ini menjadi sejarah cerita hidup yang tidak pernah akan terlupakan. Sebuah cerita di mana perjalanan lika-liku kisah kasih sepasang kekasih menjalani hari-harinya dan mengakhirnya dengan kesenangan tapi kesedihan. 

Mungkin ini memang sudah menjadi jalan terbaik untuk kita, untuk kau dan aku.

Mungkin ini memang awalan dan akhiran yang mana untuk kita bisa menjadi lebih baik.

Karena... Allah mempertemukan untuk satu alasan. Entah untuk belajar atau mengajarkan. Entah hanya untuk sesaat atau selamanya. Entah akan menjadi bagian terpenting atau sekedarnya.

Terima kasih atas segala cerita yang pernah kau berikan untukku, untuk menjadi atau yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku dan hidupmu.

Selamat tinggal.
Read more...

Selamat Tinggal

Kamu harus tahu, sepertinya aku sudah begitu lelah menunggumu yang tak kunjung datang. Hatimu terlalu keras dan egois, kamu tidak pernah mau melihat apa yang sudah ada di depan matamu, kamu selalu saja melihat ke belakang yang jelas-jelas tidak akan pernah lagi ada di depan.

Sempat berpikir aku ingin mencapai garis finish bersamamu, tapi entah mengapa semua pikiran itu seketika sekarang menjadi berubah dan hilang. Aku tidak ingin sendiri. Aku tidak ingin menunggu lagi. Aku hanya ingin yang pasti.

Dan, kini aku sudah mulai mencintai dan menyayangi seseorang yang hatinya sudah ada di depan mataku, untuk apa aku menyia-nyiakannya? Mata dan hatiku masih belum buta untuk soal cinta. Aku tahu, kalau ini memang sedikit terdengar agak gila. Tapi, apa salahnya jika aku mencoba?

Aku berterima kasih padamu, karena mencintaimu, aku pun bisa mengerti tentang cinta yang tidak bisa hanya terpaku. Aku pun harus membuka lembaran baru, meski sedikut pilu, tapi demi ketenanganku, aku tidak ingin lagi menunggu.

Terima kasih.

Selamat tinggal.
Read more...

Dan Kau Harus Memilih.


Menunggu dan terus menunggu memang ternyata menyakitkan. Semua terjadi di luar dugaan. Dan, belum pernah kurasakan sebelumnya. Hingga akhirnya kumengerti arti semua yang ada.

Kuakui, mungkin aku terlalu buta, buta akan cinta, cinta yang tak seharusnya kurasakan, perasaan yang harus berujung dengan kesakitan. Tapi, bukankah cinta butuh pengorbanan? Bukankah cinta butuh kepastian? Bukankah semua yang ada perlu dibuktikan?

Lupakan.

Aku terlalu lemah. Segala sesuatu terlihat memerah. Segala sesuatunya terlihat begitu ambigu. Mungkin karena aku terlalu lugu? Atau mungkin karena aku terlalu dungu? Bias saja karena aku terlalu malu.

Mungkin.

Well… aku terlalu bodoh karena aku tak pernah bisa dan tak pernah mau untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padanya. Bagaimana mungkin bisa aku mengungkapkannya kalau Dia masih saja selalu memikirkan seseorang yang sudah lama, bahkan hampir dua tahun lamanya sudah tidak pernah menjalin hubungan lagi? Aku tidak ingin hal yang sudah susah payah kupertahankan―maksudku, aku tidak akan pernah mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya karena hal itu akan membuatku semakin jauh darinya―harus berakhir dengan hubungan yang tidak kuinginkan. Dan, sungguh aku tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.

Aku memang gila, bagaimana tidak? Sudah tak dapat lagi aku menghintung waktu lamanya aku menunggu Dia. Dia yang saat ini hanya mengisi relung hatiku, memegang kunci pintu hati yang ingin sekali rasanya kurampas dan kukeluarkan dirinya dari dalam ruang itu dan menggantikannya dengan orang lain, yang mana yang pasti lebih pasti.

Waktu berlalu…

Kucoba untuk melawan perasaanku sendiri. Kudobrak pintu itu dengan sekuat tenaga yang terkumpul. Pintu pun akhirnya terbuka dengan sedikit kerusakan di kenopya. Dengan cepat kuraih kunci pintu yang masih di genggaman Dia dengan paksa. Kutarik lengannya keluar secara perlahan, dan berkata padanya, “Maaf, kurasa kau sudah terlalu lama mengurung dirimu di sini, dan kuharap kau segera pergi, karena aku sudah terlalu lelah menunggumu yang tak kunjung memberikan tanda dan kepastian.” Sempat kudengar Dia menjawab, “Bagaimana mungkin aku memberi kepastian kalau kau sendiri tidak pernah mencoba untuk mengatakannya padaku?” Seketika aku kembali menciut. Lengannya di genggamanku terlepas perlahan dan aku berpikir kembali.

Yeah, mungkin aku tidak pernah mengatakan yang sebenarnya kepada dirinya, tapi satu hal yang telah kuketahui, bahwa cinta tidaklah memerlukan lidah untuk berkata-kata, melainkan mata yang berbicara.

Dan, akhirnya tetap kupaksa Dia keluar dari dalam ruang yang terlihat begitu indah dan rasanya sudah lama sekali tak kulihat pemandangan indah itu. Lalu, beberapa saat setelah Dia pergi, seseorang berkata di belakangku, “Bolehkah aku yang menggantikan dirinya?” aku pun menoleh. Aku beku. Tak dapat berkata. Lalu orang itu berkata lagi, “Biarkan aku masuk dan mengunci pintu hatimu, tapi tenanglah, aku tidak aka pernah mengambil kunci itu dari tanganmu, karena kutahu, kau yang berhak menentukan atas segala pilihanmu.” Dan, seketika kedua sudut bibirku terangkat. Aku pun membiarkannya masuk ke dalam ruang indah itu.

Walaupun memang jejak Dia yang sudah pergi masih membekas di dalam ruangan, aku akan tetap berusaha untuk meyakini perasaanku, bahwa jejaknya akan hilang.

Hidup adalah sebuah pilihan.

Dan kau harus memilih.
Read more...

Love In A Virtual World


To: Dante Laurencius <dantelauren85@yahoo.com>
From: Rhein Fairuz <rheinfairuz17@yahoo.com>
Subject: re: hey, Rhein :)
Date: Thursday, March 29, 2012

She had told me that Josh didn’t talk about horny, sex or whatever like that, at all! Sampai Zahra meng-capture! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, mereka memang tidak berbicara aneh seperti itu. Huh! Kalau aku sudah melihat kata-kata horny dari stranger langsung aku disconnect!
Katanya, ia juga butuh waktu yang sangat lama untuk menemukan orang seperti itu—sesuai dengan kriterianya, umur harus di atas dirinya maksimal tiga tahun, dan minimal sepantarannya. Kau tahu tidak berapa lama sampai ia bertemu dengan Josh? Satu tahun, Dante! Ia menghabiskan satu tahun di dunia maya—omegle—just to find her true love—soulmate! Sulit sekali diterima oleh logika manusia!

Read more...

Ik Hou Van Je—Aku Mencintaimu...


“Hei, Adina! Ini aku Joan. Hahaha… aneh sekali ya aku ini? Untuk apa aku meneleponmu di tengah malam seperti ini? Pasti bunyi telepon apartemenmu sangat mengganggu tidurmu, bukan? Yah, maafkan aku jika memang aku ini mengganggumu…. Hmm… entahlah, Adina. Entah mengapa jemari tanganku bergerak dengan sendirinya memencet nomor teleponmu. Mungkin karena aku sangat merindukanmu saat ini… hahaha… ya, mungkin. Entahlah, Adina…. Ah! Ya, memang benar begitu, Adina… aku sangat merindukanmu, bahkan amat sangat merindukanmu… I just can’t stop thinking about you, Adina… wherever… and whenever I am… I always think about you… and since the day I met you… I’ve fallen in love with you, Adina… I know it sounds weird. But, that’s the fact, Adina…  sudah lama aku memendam perasaan ini, hmm… mungkin kurang lebih sudah sepuluh tahun lamanya, hahaha… bodoh sekali ya aku ini memendam perasaan selama itu? Well… aku tidak bisa terus-menerus membohongi perasaanku sendiri… ik hou van je—aku mencintaimu, Adina.”

Bip….

Sungguh aneh, bahkan amat sangat aneh ketika mendengarnya. Kedua sudut bibirku terangkat—dengan sendirinya—mengingat kembali akan tingkah lakunya saat di pesta pernikahan Adam dan Fay. Dan, seketika perasaan aneh itu muncul kembali, merusak segala setiap syaraf-syaraf yang tak terkendali, dan hal ini sangat sulit sekali dimengerti.

Bagaimana bisa? Batinku. Ya, bagaimana bisa aku merasakan hal seperti ini. Dan, rasanya perasaan aneh ini semakin terasa sangat kuat dan semakin menguatkan segala keyakinanku akan....

Read more...

Prologue

Kopi yang sudah dingin tidak akan bisa kembali panas jika tidak dipanaskan. Itulah gambaran rasa kasihku padamu. Seperti hatiku yang tidak akan pernah panas jikalau kau tidak memanaskannya

Perbedaan apakah yang kau rasakan saat meneguk kopi yang selagi hangat dan yang sudah terlanjur dingin? Bisakah kau membedakannya? Bisakah kau menggambarkannya? Bisakah kau ungkapkan dengan kata-katamu?

Tentu saja kau lebih suka meneguknya selagi hangat, bukan?

Apa kau tahu maksud dari semua itu?

Ya, itu hatiku, hatiku yang selalu akan menjadi panas dan tak akan pernah dingin jikalau kau yang memilikinya. Tapi, ada perbedaan antara kopi dan hatiku, mau tahukah kau apa berbedaan itu?

Biarkan waktu yang menjawab….

-Kristara-

Lelaki itu tertawa garing saat membaca kembali kertas yang sudah kecoklatan di genggaman tangannya. Kertas yang mengingatkannya di masa sepuluh tahun silam. Masa di mana ia bersama dengan seorang kekasih yang dulu sangat dipuja dan dicintainya itu.

“Kristara?” ia bergumam tak jelas, lalu ia tertawa kekeh. Kau adalah kopi terpahit tiada manis yang pernah kuteguk. Batinnya.

Nama yang begitu indah dengan wajah yang sungguh memesona pernah menjadi magnet terkuat di dalam hatinya. Tapi, apakah saat ini seperti itu? Jawabannya dengan sangat lantang dan tegas di dalam hatinya ialah, “Tidak!” ya, tidak sama sekali. Nama indahnya tak menggambarkan keindahan diri wanita itu dan tak akan menjadi magnet terkuat di dalam hatinya lagi.

Ia meremas dengan gemas kertas yang sedari tadi digenggamnya itu. Meremas setiap kenangan yang ada di otaknya. Lalu melemparnya sejauh mungkin, menghilangkan setiap jejak yang ada.

Dan, ia pun sadar, perjalanan cintanya belum berakhir.
Read more...

It's Ridiculous!

Sungguh tubuhku benar-benar tidak dapat bergerak sama sekali. Ini aneh! Benar-benar amat sangat aneh! Mengapa aku tidak dapat melepaskan tubuhku dari dalam pelukannya yang seperti ini? Mengapa tubuhnya ini terasa hangat dan nyaman? Mengapa terasa sangat berbeda dari pelukan-pelukan yang pernah diberikannya sebelumnya padaku? Sungguh, aku tidak mengerti. Ini benar-benar gila!

Aroma lavender tubuhnya menusuk masuk lewat hidungku dan dikirim oleh syaraf ke otakku, membuat tenang rasanya.

Aneh.

Say something, Adina…,” bisik Joan, kedua lengannya masih merengkuh tubuhku.

Apa? Apa yang harus kukatakan, Jo? Sungguh, aku tidak mengerti sama sekali tentang apa yang sedang kurasakan saat ini. Perasaan ini sungguh sangat aneh! Dan… tiba-tiba datang begitu saja!

Read more...

"Il mio nome è Corrado..."


Il mio nome è Corrado. Qual è il tuo nome, Bella Signora?

Aku terperangah sejenak saat seseorang dengan Bahasa Italia yang cukup aku mengerti, datang menghampiriku sembari menjulurkan tangannya padaku.

My name is Corrado. What is your name, Beautiful Lady?” katanya—mungkin ia menyangka aku tidak mengerti Bahasa Italia—ia tersenyum lagi.

“Ah! My name is Lana,” balasku.

What a beautiful name, Lana!” pujanya dengan aksen Italia yang sangat kental. Ia mengecup ringan jemariku yang masih di genggaman tangannya. Mata coklatnya tersenyum memandangiku.

Ah, sinting! Langsung kutarik tanganku yang berada di dalam genggamannya, lalu mencoba untuk balas tersenyum. “You too, Corrado.

Read more...

Peron

Sudah selama seminggu ini aku tidak pernah melihatnya lagi di peron. Kemana dirinya? Kemana lelaki itu? Apa dia sudah muak dengan sikapku yang selama hampir sebulan ini selalu mencoba mendekatinya? Selalu mencoba mencari perhatiannya? Apa sikapku selama ini salah terhadap dirinya?

Tapi… tapi, aku benar-benar ingin bisa mengenalnya, bisa dekat dengannya, bisa… bisa bersama dirinya. Apakah itu sebuah harapan yang konyol dan sia-sia? Entahlah, aku tidak tahu.

Waktuku di Singapura hanya tinggal tiga hari lagi, apa mungkin bisa selama tiga hari terakhir ini aku berkencan dengannya? Semoga saja Tuhan mengabulkan.

Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 22.00 dan peron MRT China Town sudah mulai sepi. Tepat di sebelah kananku seorang lelaki paruh baya itu sedang mengutak-atik ponselnya. Tepat di sebelah kiriku, seorang wanita memangku anaknya yang sedang tertidur. Dan aku sendiri—di sini, hanya diam tidak melakukan apa-apa.

Read more...

There Must Be Love


Sudah hampir setahun ini entah mengapa aku masih saja memikirkannya, memikirkan laki-laki itu, laki-laki yang seharusnya tak usah kupikirkan. Ia hanyalah sebuah sosok sepintas belaka, sosok pelengkap, sosok penghibur, sosok… entahlah, yang jelas dan dengan sangat jelas, aku tak pantas untuk memikirkannya, dan itu hanya akan membuang waktuku saja jika hanya terus memikirkannya.

“Kau memikirkannya lagi?”

Kuangkat wajahku, kutatapi wajah Joan di hadapanku sejenak, lalu kutarik tipis bibirku.

“Adam?”

Kuhela napas panjang saat Joan menyebutkan nama itu. “Never mind!” tanggapku.

Read more...

Wingko, Mommy!

“Ah, Jenny! Terima kasih banyak karena kau sudah mau membantuku untuk merencanakan ini semua,” ujar Rain sembari merangkul Raina.

Aku hanya membalas dengan tersenyum.

“Membantumu?” tanya Raina yang tampak tidak mengerti.

Raina mengangguk, lalu bibirnya dihiasi seringai kecil. “Ya, begitulah. Sebenarnya, aku di sini dan kita bertemu itu sudah direncanakan oleh Jenny. Jenny bilang kalau kau selalu murung sejak terakhir kita bertemu, kau selalu saja tidak fokus dengan pekerjaanmu—”

“Jenny?” potong Raina cepat, ia memandangiku penuh selidik.

Read more...

May I Hug You?

“Kenapa kau mau begitu saja dijodohkan dengannya, Raina?” tanya papa.

Aku menarik senyum tipis. “Karena aku tahu, pilihan orang tua itu pasti benar, setidaknya sudah melihat dari segala aspek yang Mama dan Papa inginkan untuk menjadi pendamping hidupku nantinya,” jelasku.

Mama dan papa berbarengan mengernyitkan kening, menatapku penuh heran. “Benarkah?” tanya mama.

Aku mengangguk.

Papa menimpali, “Jadi… selama ini—selama hampir dua puluh lima tahun kau tidak pernah mempunyai kekasih itu karena… kau menunggu kami untuk menjodohkanmu?” mata papa menyipit.

Aku bergumam sejenak, dengan seringai kecil di bibir, aku menjawab, “Ya, begitulah.”

Read more...

Love Comes Suddenly

Aku tahu ini terlalu berlebihan. Aku tahu aku tidak pantas memikirkan hal itu. Aku tahu siapa aku. Aku tahu semua segala hal yang pada kenyataannya tidak akan pernah terjadi pada hidupku—kehidupan cintaku.

Aku menghembuskan napas kecil dari mulutku. Yah, lagi-lagi aku hanya bisa menatapinya seperti ini, seperti orang bodoh saja, seperti seorang wanita yang haus akan lelaki. Oh, man! What the hell am I thinking? Betapa bodohnya aku ini. Betapa bodohnya aku saat memandanginya dengan penuh harap seperti ini.

“Kenapa kau tidak hampiri saja, Fay?” ujar Melky yang duduk tepat di seberangku.

Kedua alisku bertaut, menatap matanya dengan tatapan apa-kau-sudah gila? Oh, well, aku memang akan menjawab seperti itu—dengan kata-kata. “Apa kau sudah gila? Mana mungkin aku melakukan hal itu?!”

Read more...

So Surprised!

Michael

"It's not that simple, Mike!" suara Zahra mulai meninggi, aku langsung menanggapinya dengan diam, karena aku tau maksudnya--memintaku untuk diam dan tidak lagi menyela atau menyambung lagi atas ucapannya.

Yah, aku lakukan itu. Sekarang aku hanya diam, mataku menatap matanya dalam dan tajam, aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, mungkin ini agak sedikit nekat, tapi kalau aku tidak segera kulakukan ini padanya, ia tidak akan terus terang.

Wajahnya kini terlihat semakin takut dan merah. Tanpa berpikir panjang lagi, dengan cepat kilat kudekatkan wajahku dan bibir kami saling bertemu dan menyatu.

Read more...

It's Not That Simple!

Zahra

"Really deeply falling for you!"

Aku tahu ini salah, aku tidak boleh terhanyut dalam suasana! Ya Allah, tolonglah hambamu ini...

"Aku mohon... ini sudah yang kelima kalinya, Za! Aku benar-benar menginginkan kepastian dari kamu!"

"A... aku... oh, come on, Michael! Kamu tahu kan..."

"Ini nggak baik?" potong Michael, "itu yang mau kamu bilang?"

Read more...

Fairy Love

Zahra & Michael

Jika ingin menggapai sesuatu memang harus dilalui dengan berbagai cara, bahkan terkadang sampai ke cara yang sangat tidak pantas untuk dilakukan tanpa berpikir sesuatu atau dampak yang akan didaptakan di kala mendatang.

Aku tahu kalau ini memang sangat tidak boleh untuk diteruskan, tapi apa daya kera yang mencoba untuk berenang di tengah samudera?

Semua orang di muka bumi ini berhak untuk mendapatkan dan memperjuangkan cintanya sampai titik darah penghabisan mereka. Apa itu salah jika aku lakukan? Memang, kuakui ini memang perjalanan cinta  yang sangat bodoh. Ada apa denganku? Mengapa aku bisa mencintainya? Kedua pertanyaan itu selalu terbenak di otakku hingga sampai pada saat ini

Aku tahu aku dan kau tidak sama...

Read more...

A Choice


“Kau habis menangis, Mayra?

Aku menggeleng pelan. “Tidak, mataku baru saja—”

“Kelilipan?” potongnya cepat. “Alasan klise, Mayra!”

Kutarik senyum tipis, sangat tipis hampir tidak terlihat. “Sudahlah, Ray!”

“Jodi?” tanyanya membuatku terkejut demi mendengar pertanyaannya. Mengapa Ray tiba-tiba saja bisa menyebutkan nama laki-laki itu? Kulihat Ray menatap mataku penuh selidik. “Kau memikirkan Jodi bukan?” tanyanya lagi.

Read more...

Red Cover and Gold Ribbon

“Sekarang apa yang ingin kau lakukan? Kau tidak bisa membohongi perasaanmu sendiri, Mayra!” suara Nayla menyentakkan aku dari lamunan.

Aku mengangkat wajah dan menghela napas panjang. Sengaja aku mengajaknya bertemu di kafe karena aku tahu pastilah Nayla juga sudah mengetahui tentang hal ini, tentang pernikahan Jodi dan Ghina. Dan dugaanku tepat, Nayla juga menyembunyikannya dariku. Karena terus aku desak, akhirnya Nayla mengakui kalau ia memang sudah tahu lama mengenai Jodi yang akan menikahi Ghina. Lagi-lagi dadaku terasa sesak jika nama wanita itu disebut. Sesak karena emosi yang yang tak dapat digambarkan, dan tak dapat diukur tingkatan emosinya—begitu sesak.

Kualihkan lagi pandangan mataku pada sebuah undangan bercover merah dan berpitakan  kuning keemasan itu. Cantik sekali. Seharusnya nama wanita yang tertulis indah di atas sana adalah namaku, bukan nama wanita itu. Seharusnya yang menjadi pengantin wanitanya adalah aku. Yang sepantasnya hidup mendampinginya adalah aku. Dan semua segala hal tentang dirinya adalah aku yang pantas! Ah, mikir apa sih aku ini? Tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Memangnya aku siapanya? Aku sudah tidak ada hubungan lagi dengannya sekarang. Jadi tidak perlu aku seperti ini.

Read more...

You're The One

Mayra! Wait, Mayra!

Kurasakan tanganku diraih kuat. Aku mendengus kesal. Ada perlu apa lagi ia mengejarku seperti ini? Bukankah sejak hubungan kami berkahir, ia tidak pernah angkat bicara? Lalu, mengapa secara tiba-tiba ia mengejarku seperti ini? Sungguh aneh!

Wait a sec, Mayra!” cegahnya.

Aku tidak langsung memutar tubuhku untuk berhadapan dengannya. Sengaja aku tidak ingin menampakkan wajahku sekarang di hadapannya.

Is he yours now? Apa kau dengan laki-laki itu berhubungan?” tanyanya tanpa basa basi.

Read more...
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya