Aku tahu ini terlalu berlebihan. Aku tahu aku tidak pantas memikirkan hal itu. Aku tahu siapa aku. Aku tahu semua segala hal yang pada kenyataannya tidak akan pernah terjadi pada hidupku—kehidupan cintaku.
Aku menghembuskan napas kecil dari mulutku. Yah, lagi-lagi aku hanya bisa menatapinya seperti ini, seperti orang bodoh saja, seperti seorang wanita yang haus akan lelaki. Oh, man! What the hell am I thinking? Betapa bodohnya aku ini. Betapa bodohnya aku saat memandanginya dengan penuh harap seperti ini.
“Kenapa kau tidak hampiri saja, Fay?” ujar Melky yang duduk tepat di seberangku.
Kedua alisku bertaut, menatap matanya dengan tatapan apa-kau-sudah gila? Oh, well, aku memang akan menjawab seperti itu—dengan kata-kata. “Apa kau sudah gila? Mana mungkin aku melakukan hal itu?!”
Ya, mana mungkin aku dapat melakukan hal yang menurutku sangat tak pantas seperti itu? Apa pantas seorang wanita yang menghampiri seorang lelaki terlebih dahulu? Apa pantas seorang wanita mengajaknya berkenalan lebih dulu? Tentu saja tidak—menurutku begitu!
“Memang terdengar agak gila. Tapi, kalau kau tidak mencobanya lebih dulu, bagimana mau berkembang? Apa kau mau hanya terus memandangi seperti orang tolol seperti itu?”
Well, kurasa aku memang sudah tolol. Tapi, tentu saja aku tidak bisa melakukan itu, aku tidak bisa harus lebih dulu menghampirinya dan mengajaknya berkenalan. Aku bukan salah satu wanita yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi—terkecuali untuk persoalan kantor, aku selalu bisa percaya diri! Tapi, ini berbeda! Ini tentang dia!
“Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu, Mel! Aku seorang wanita—tidak pantas untuk menghampirinya lebih dulu!”
“Oh come on, Fay!”
“Jangan memaksaku terus seperti itu! Aku bisa gila dibuatmu, tahu!”
“Kau justru dibuat gila oleh cinta yang tak mau kauperjuangkan untuk mendapatkannya!”
“Dasar, psikolog! Selalu saja berkata seperti itu.”
Melky mendengus kecil, tapi aku masih bisa mendengarnya. Pandanganya sesaat terarah pada lelaki yang sedang duduk menyendiri seperti itu—sedang sibuk dengan tumpukan kertas di atas meja kecil di hadapannya. Lalu kembali pandanganya dialihkan kepadaku.
Melky menaikan satu alisnya. “Seharusnya kau beruntung punya teman seorang psikolog sepertiku ini. Aku bisa membantumu dalam setiap masalah dan kesulitan yang kauhadapi. Terutama soal cinta! Apalagi, mengingat kau masih sangat amateur soal yang satu itu!” ujar Melky dengan nada penuh mengejek. Ia tertawa kecil dibalik ia menyeruput strawberry squash-nya yang baru dipesannya tadi.
“Well, indeed I’m amateur about that one. Tapi aku tidak bodoh untuk memikirkan kalau aku harus menghampirinya yang sedang duduk menyendiri seperti itu. Itu konyol!”
“Konyol?” kening Melky berkerut. “Menurutku tidak!”
“Menurutku, ya!” tukasku tak mau kalah.
Melky langsung terdiam. Memandangiku dengan pandangan penuh tak percaya atas sikapku yang tidak pernah mau kalah darinya.
“Oke, begini… biar kuberi tahu,” kataku. “bagaimana kalau ternyata laki-laki itu mempunyai seorang kekasih? Atau… bahkan mempunyai seorang tunangan? Atau, lebih parahnya lagi mempunyai seorang istri? Atau…” aku menggantung kalimatku sejenak, memerhatikan dengan seksama kesepuluh jemari yang panjang itu. Tak ada sesuatu benda yang melingkarinya—tak ada cincin emas di jari manis tangan kanan atau pun kirinya. Oh, tentu saja aku dapat menjawab pertanyaanku sendiri.
Kini lipatan-lipatan kecil di dahi Melky semakin bertambah. Ia memiringkan kepalanya. “Menurutku tidak sama sekali, tidak punya kekasih, tunangan atau pun seorang istri. Terlihat jelas dari kesepuluh jarinya yang tidak terdapat satu pun cincin yang menyangkut di sana!” Melky menegakkan tubuhnya.
“Tapi—”
“Tapi, Mel, aku tidak bisa bla bla bla…” kini tatapan Melky sudah geram. “Kau itu terlalu banyak menggunakan kata ‘tapi’! Kau tahu tidak, terlalu sering menggunakan kata ‘tapi’ akan membuat hidupmu gila dan akan terus membuatmu terbawa dalam sebuah kebimbangan di antara dua pilihan?”
“Aku benci memilih!”
“Nah…!” Melky menarik senyum di bibirnya. Ia bersedekap seraya bersandar ke kursi. “Kau benci memilih tapi kenapa kau suka sekali menggunakan kata ‘tapi’?”
“Melky—”
“Fay! Sadarlah! Kau harus berusaha!”
“Oke, memang dia tidak mempunyai seorang tunangan atau pun istri. Tapi, bagaimana kalau jika…” ucapanku tergantung kembali saat melihat sosok wanita melenggang dengan anggunnya, cantik, tinggi—ke arah lelaki itu…! Seketika jantungku rasanya ingin berhenti berdetak. Mereka—wanita itu mengecup ringan lelaki yang baru saja dihampirinya—membuat hatiku kecilku terasa tersayat silet tajam—sulit bernapas—sesak!
Oh, mereka terlihat begitu akrab, berdekatan, tertawa bersama, bercanda bersama. Apakah mereka sepasang kekasih? Kelihatannya begitu. Mereka terlihat begitu sangat mesra layaknya sepasang kekasih. Wanita itu memang benar-benar sangat menawan hati, benar-benar cantik—tak akan ada satu pun lelaki yang dapat berpaling dari paras cantik itu.
Damn! Mengapa jantungku jadi terasa sesak seperti ini?
“Hell no! Kurasa bukan seperti yang kaubayangkan, Fay!” ujar Melky menyandarkanku dari lamunan yang menyakitkan itu.
Aku menarik senyum kecil. “Kurasa tidak. Sepertinya mereka memang mempunyai hubungan khusus. Kaulihat sendiri kan bagaimana mesranya mereka berdua?” Aku tetap berusaha tertawa kecil, mencoba tidak menampakkan rasa sesak di dada.
Melky menghela napas panjang lagi. “Fay—”
“Ah, sudahlah, Mel, lebih baik kita pergi saja dari sini!” Kuraih tasku dan beranjak pergi dari tempat. Sempat sudut mataku menangkap tatapan wanita itu menatapku sekilas—entahlah.
Sempurna sudah! Mungkin aku memang sudah ditakdirkan Tuhan sebagai perawan tua! Dan… kurasa aku memang benar-benar sudah amat sangat jatuh cinta pada lelaki itu, lelaki yang sering kulihat di lounge.
Cinta bertepuk sebelah tangan memang benar membuat hati itu terasa seperti tersayat silet yang tajamnya bukan main, seperti tersiram air raksa hingga hati ini mati dan beku, yang terasa hanya sesak, sesak yang amat sangat menusuk ke dalam lubuk hati.
Mengetahui kenyataan itu, membuatku sadar dan berpikir, kalau cinta memang tak harus selalu memliki. Cih, terkadang aku muak mendengarnya, tapi kenyataannya memang seperti itu. cinta datang di saat yang tak pernah terduga dan jauh dari logika manusia. Dan setelah itu, entah mengapa rasanya aku malas dan tak ingin lagi pergi ke lounge yang biasa kudatangi—tempat pertama kali aku melihatnya, melihat wajah tampannya.
Sudah selama sebulan ini aku tidak bergi ke sana, sendiri maupun berasama Melky. Benar-benar terasa berat. Langsung akan terlintas adegan mesra itu jika aku menginjakkan kakiku lagi di sana. Memang itulah kenyataan yang kurasakan.
Lagi-lagi weekend kali ini, aku hanya menghabiskan waktuku di dalam apartemen—sendiri—tak ada seorang pun yang menemani—sepi—hampa, dan aku lelah!
Sudah berkali-kali aku membaca novel karya Sandra Brown ini. Tapi entah mengapa tidak pernah bosan membacanya. Aku selalu terhanyut dalam suasan yang diberikan lewat kata-kata yang dipaparkan di dalam novenya. Aku selalu membayangkan akulah yang menjadi peran utamanya, menjadi seorang wanita yang benar-benar tersorot oleh masyarakat. Tapi tidak dalam kenyataan, dalam kehidupan nyataku.
Bel apartemen berbunyi nyaring, memaksaku untuk menyeret kaki yang terasa sangat lemas ini. Siapa pula yang datang malam-malam begini? Pikirku.
Kubangkitkan tubuhku dari sofa dan menyeret kakiku dengan malas. Kuletakkan sejenak novel yang kugenggam ke atas meja, setelah itu berjalan menghampiri pintu. Kuintip sejenak lewat lubang kecil di pintu. Dahiku berkerut karena tidak kudapati seorang pun di luar. Tapi aku tetap membuka pintu, mungkin saja ada sesuatu yang diletakkan di depan—kejutan. Mungkin.
Dan… tidak ada apa pun. Tidak ada yang bermakhluk, tidak ada benda kotak atau apa pun yang tergeletak di depan pintu. Kosong.
Hanya tetangga iseng! Pikirku. Saat hendak ingin kututup kembali pintu itu, tiba-tiba saja terasa ada angin topan yang menarikku ke dalam pusaran angin yang sangat keras, tidak dapat bergerak, tidak dapat mengelak, tidak dapat bernapas!
Ini pasti mimpi! Ya. Ini. Pasti. Hanya. Mimpi! Aku mencoba myakinkan diriku sendiri bahwa sosok yang sedang berdiri di hadapanku sekarang ini hanyalah imajinasiku belaka. Ya, hanya imajinasi belaka!
Imajinasiku itu melambaikan tangan padaku lalu tersenyum. Oh, senyumnya itu benar-benar membuatku tak berkutik!
“Hey,” sapanya. Aku hanya bisa tersenyum terus memandangi imajinasiku itu. Sungguh hebat! Hebat sekali aku bisa mengimajinasikannya sekarang! Setelah hampir satu bulan lamanya aku tidak bertemu dengannya. Mungkin ini yang namanya rasa rindu.
“Hey, Fay!” sapanya sekali lagi. Oh, ternyata ia tahu namaku, tapi… dari mana ia bisa mengetahuinya? Ah, bodoh sekali aku ini, tentu saja ia tahu, jelas-jelas ia adalah sebuah imajinasiku!
Kuarasakan tangannya yang besar itu meremas lembut tanganku yang terkulai lemas tak berdaya. Sentuhan hangat. Genggamannya benar-benar terasa seperti… nyata…
NYATA???!
My goodness! Kulirik tanganku yang diremas oleh tangan besar itu. Dan… itu… benar-benar… nyata? Dan… seketika sluruh saraf di tubuhku berhenti bekerja, menegang tak tertahankan!
“Fay?!” sapanya sekali lagi, memnbuatku gagap tak sanggup berkata-kata. “Hey, are you okay?”
Mataku mengerjap memandangi wajahya.
Nyata?
Kutarik tanganku dari genggaman tangannya dan lalu meraba wajahnya perlahan dan memerhatikannya benar-benar dengan seksama, amat sangat dengan seksama. Kedua mataku menyatu lembut dalam udara yang kian mempersatukan mataku dengan kedua mata cokelatnya yang indah, hingga aku dapat melihat bayangan diriku sendiri pada kedua mata lelaki di hadapanku sekarang ini. Tanganku sedikit gemetaran, merasakan lembut dan hangat wajahnya serta tatapan matanya.
Nyata!
“Fay, you okay?” tanyanya sekali lagi.
Langsung kujauhkan kedua tanganku dari wajahnya. Malu. Dan kini bukan hanya tanganku saja yang gemetaran, tapi seluruh tubuhku!
“Hey, hey! Ada apa, Fay? Apa kau sakit?”
Aku tidak dapat menjawab pertanyaannya, mulutku terbungkam rapat, sulit untuk berkata-kata. Tubuhku terasa kian lemas, dan semakin terasa lemas, membuat tubuhku tak tahan lagi beridiri. Kedua tangan lelaki itu langsung menangkap tubuhku dengan erat saat tubuhku mulai lemas terjatuh.
Ia mengangkat tubuhku dan membawaku masuk ke dalam. Tubuhku direbahkan di atas sofa ruang tengah. Napasku masih sedikit sulit untuk bernapas dengan lancar. Setelah tubuhku merebah sempurna, ia bernajak menuju dapur dan mengambilkanku segelas air putih.
Disodorkan gelas itu secara perlahan. Dengan hanya sekali teguk, tubuhku terasa lebih baik dari sebelumnya.
“Terima kasih,” ucapku.
Ia hanya menarik senyum seraya menaruh gelas ke atas meja dekat sofa. “Sudah baikan?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. Ia mengulurkan tangannya padaku, aku pun membalasnya. “Adam.”
“F—”
“Fay,” selanya cepat. “aku sudah tahu namamu,” katanya yang lalu menyeringai kecil.
“Oh, ya. Dari mana kau bisa tahu namaku dan juga alamat apartemenku ini?”
“Caranya? Sangat panjang untuk akhirnya bisa sampa sini. Kau tidak akan percaya, Fay!”
Kedua alisku berkerut heran. “Ceritakan saja! Jangan membuatku penasaran!”
“Okay, sejujurnya… ke mana saja kau selama sebulan ini? Aku tidak pernah melihatmu lagi di lounge.”
Aku mendelik. “Aku?” tanyaku tak yakin.
Adam mengangguk. “Ya, kau. Ke mana saja selama sebulan ini?” tanyanya lagi.
“Sebulan ini…? Kau sudah mengenalku sebelumnya?”
Adam mengangguk lagi. “Tidak begitu. Aku sebelumnya sering melihatmu datang, mungkin kau tidak sadar saat kuperhatikan.”
“Oh, ya?”
“Ya. Saat kau sudah tidak pernah datang kembali, itu membuatku pensaran, aku takut kalau ada sesuatu buruk menimpa dirimu, karena kalau memang benar begitu, aku pasti tidak dapat melihatmu lagi.”
“Takut…?” ucapanku menggantung, menatapinya penuh tanya.
“Ya. Takut. Takut sekali. Aku sangat takut terjadi sesuatu buruk menimpamu, Fay. Maka itu, aku berusaha mencari informasi tentang dirimu, tapi tidak pernah kudapatkan. Hingga akhirnya aku sudah menyerah untuk mencari informasi tentangmu. Tapi, di saat aku mulai lelah dan menyerah, aku bertemu dengan sahabatmu, Melky, di pesta pernikahan kakak-ku kemarin. Adik suami kakak-ku adalah teman dekat Melky. Pada saat itu juga, aku mulai mencecar Melky dengan pertanyaan yang bertubi-tubi mengenai dirimu…” Adam menghentikan penjelasannya sejenak, ia menatapi wajahku dengan dalam dan lembut, membuatku merinding.
“Lalu?” tanyaku.
“Dan… di sinilah aku berada sekarang. Di apartemenmu, untuk meyakinkan diriku sendiri kalau kau baik-baik saja, dan tidak ada sesuatu hal buruk menimpamu.”
Aku bergumam tidak jelas, tidak tahu apa yang harus kukatakan.
“Well, dan syukurlah kalau ternyata kau baik-baik saja… Fay…”
Aku hanya bisa menarik senyum di bibir. Entah mengapa, tubuhku jadi terasa begitu sangat ringan, seperti melayang bebas terbang ke angkasa. Sungguh, ini benar-benar kurasakan pada diriku sendiri, tidak pada sebuah film-film ftv, sinetron, cerita pendek atau pun novel-novel yang suka kubaca. This is real in me!
“Ya?” aku mengerutkan keningku saat Adam menggantung kalimatnya.
Adam menarik senyum tipis, lalu menjawab, “Ah, tidak, tidak apa-apa. aku senang melihatmu baik-baik saja.”
“Boleh aku bertanya sesuatu padamu?” tanyaku.
“Tentu saja!”
Aku bergumam sejenak, mencoba mengatur napas agar nada suara yang kukeluarkan nanti tidak begitu kentara seperti orang cemburu. “Umm… wanita yang pernah mendatangimu di lounge waktu itu—sebulan yang lalu—terakhir aku menginjakkan kaki di sana?” aku mencoba mengeluarkan nada suara yang biasa-biasa saja, seakan tidak begitu peduli dengan pertanyaan yang kulontarkan itu.
Adam bergumam. Matanya menyipit, memandangiku penuh tanya, tetapi hanya beberapa saat ketika matanya sudah melebar kembali dengan senyum yang mengembang di bibirnya. “Kenapa?” tanyanya balik.
“Kenapa apanya?”
“Kenapa bertanya seperti itu?”
Mataku terbelalak. “Kenapa?” gumamku—tak tahu apa yang harus kujawab.
Adam mengangguk. “Ya. Kenapa?” tanyanya lagi.
Aku tidak bisa menjawab dan tidak tahu apa yang harus kujawab dari pertanyaannya itu. Aku terjebak oleh pertanyaanku sendiri!
“Kenapa?” tanyaku untuk yang kesekian kalinya, dan Adam mengangguk lagi untuk yang kesekian kalinya juga. “Ah, kenapa? Seharusnya aku yang bertanya ‘kenapa’ kepadamu!”
Kini kening Adam yang berkerut heran. “Aku? Kenapa?”
Aku mengangguk.
“Kenapa? Kenapa apanya?”
“Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku lebih dulu baru kau nanti yang bertanya jika kau sudah menjawab pertanyaanku?”
“Oh! Okay… wanita itu…?” lagi-lagi Adam menggantung kalimatnya lagi. “Apa kau benar-benar ingin tahu siapa wanita itu?”
Aku menggeram kesal. “Adam… biasakah kaujawab saja pertanyaanku? Jangan berbalik bertanya terus seperti itu?”
Adam terkekeh. “Okay… well… tadi aku sempat memberitahumu kalau kakak-ku yang kemarin baru saja habis menikah—suaminya mempunyai adik yang berteman dekat dengan sahabatmu, Melky…”
“Jadi… wanita yang baru saja menikah kemarin itu adalah wanita yang mendatangimu dan itu kakakmu?” lanjutku untuk myakinkan.
Adam mengangguk yakin.
“Oh,” tanggapku singkat, mencoba tetap bersikap biasa saja.
“Nah, sekarang giliranku yang bertanya!” ujar Adam. “Ada apa kautanya seperti itu?” tanyanya.
“Aku… aku hanya…”
Cukup lama aku menggantung kalimatku, dan itu membuat Adam semakin menyipitkan matanya, menatapku penuh tanya, dan sepertinya usahaku sia-sia mencoba bersikap biasa saja, dan sepertinya ia menyadari akan satu hal dengan nada bicaraku yang seperti itu.
“Ah!”
Suara Adam membuatku tersentak. Kini matanya membulat sempurna dan seringai lebar menghiasi bibirnya. Jangan katakan…!
“I see… I see…,” suaranya menggoda penuh arti, “well, well, well… aku baru ingat terakhir kau datang ke lounge pada saat kakak-ku mendatangiku… kau tahu tidak, Fay?”
Aku mengernyit.
“Saat kau pergi meninggalkan lounge, kakak-ku sempat atau bahkan sangat memerhatikanmu!”
Kakaknya? Memerhatikanku? “Oh, ya?” tanyaku tak yakin.
Adam mengangguk. “Ya. Dan dia bilang, kalau kau ternyata memang… cantik!”
Aku terperanjat demi mendengar Adam berkata seperti itu!
“You’re lying, aren’t you?”
“Sungguh, aku sedang tidak berbohong. Pada saat itu, aku bertanya pendapatnya tentang dirimu, dan dia bilang kau memang benar-benar cantik, dan terlihat seperti wanita baik-baik dan juga sangat menarik!”
Dan mulutku sekarang ini benar-benar terkunci rapat-pat-pat! Tahu sendirilah, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Shock!
“Dan… well… dia juga menyukai dirimu!”
Pipi dan telingaku kini benar-benar terasa panas, sudah pastilah kedua pipiku sekarang memerah. Dan… aku hanya bisa menarik senyum manis di bibir.
Kini, aku tidak akan lagi menyembunyikan perasaan yang telah lama terpendam di relung hati yang terdalam… karena kutahu, cinta datang di waktu dan tempat yang tak pernah terduga.