Sungguh tubuhku benar-benar tidak dapat
bergerak sama sekali. Ini aneh! Benar-benar amat sangat aneh! Mengapa aku tidak
dapat melepaskan tubuhku dari dalam pelukannya yang seperti ini? Mengapa
tubuhnya ini terasa hangat dan nyaman? Mengapa terasa sangat berbeda dari
pelukan-pelukan yang pernah diberikannya sebelumnya padaku? Sungguh, aku tidak
mengerti. Ini benar-benar gila!
Aroma lavender tubuhnya menusuk masuk
lewat hidungku dan dikirim oleh syaraf ke otakku, membuat tenang rasanya.
Aneh.
“Say
something, Adina…,” bisik Joan, kedua lengannya masih merengkuh tubuhku.
Apa?
Apa yang harus kukatakan, Jo? Sungguh, aku tidak
mengerti sama sekali tentang apa yang sedang kurasakan saat ini. Perasaan ini
sungguh sangat aneh! Dan… tiba-tiba datang begitu saja!
“Aku rela jika kau masih menganggap aku
ini adalah Adam yang berada dalam pelukanmu saat ini,” ujarnya yang membuat
napasku tercekat demi mendengarnya berbicara dengan nada lirih seperti itu.
Joan semakin mengeratkan pelukannya, dan
entah mengapa kedua lengaku yang tadinya terkulai lemas kini melingkari
tubuhnya dengan sendirinya. Di dalam pelukannya seperti ini benar-benar terasa
amat sangat nyaman.
“Jo…,” panggilku, tetapi tak ada jawaban
darinya. Kupanggil sekali lagi, “Joan...”
“Kau memanggilku… Joan, Adina?”
Aku mengangguk di dalam pelukannya, dan
aku merasakan Joan semakin mengeratkan pelukannya, membuatku agak sesak.
“Joan… aku… su-sulit bernapas!”
Joan langsung merenggangkan pelukannya
dan lalu berkata, “Maaf.”
Aku hanya tersenyum.
“Bagaimana? Kau merasa baikan sekarang?”
Mataku mengerjap. Baikan? “Maksudmu… baikan?” tanyaku balik.
“Mengingat Adam yang sebentar lagi akan
menikah dengan Fay, kau pasti merasakan hal yang sangat sakit menusuk hatimu,
bukan?”
Dan, entah mengapa, perasaan ini semakin
terasa aneh saja! Mengapa aku tidak merasakan apa pun saat mendengar nama Adam dan
Fay? Tidak seperti biasanya—yang biasanya kurasakan saat mendengar nama Adam
dan Fay… rasanya seperti hati yang tersayat oleh belati yang sangat
tajam—mengoyak hingga ke lubuk hati yang membuatku tak mampu lagi untuk
berkata-kata.
Okay,
cukup. Penggambaran itu sangat berlebihan! Rutukku dalam
hati.
Joan memandangiku dengan tatapan heran
yang khasnya itu. Kedua alisnya berkerut, tanda ia ingin tahu mengapa
ekspresiku tiba-tiba berubah tidak seperti biasanya.
“A… aku tidak tahu! Ini benar-benar
aneh, Jo!”
Joan meraih wajahku dengan kedua telapak
tangannya. Lagi-lagi tatapannya sulit sekali aku mengerti, begitu dalam dan…
lembut, dan lalu ia tersenyum, yang entah mengapa senyuman yang ia berikan itu
sangat membuat hatiku berdesir.
“Maukah kau menemaniku makan siang?”
nada suaranya terdengar sangat lembut, membuatku merinding demi mendengarnya.
Tidak tahu mengapa, aku langsung saja
menarik senyum dan lalu menjawab, “Sejak kapan kau mulai mengajakku makan siang
dengan meminta ijin lebih dulu? Bukankah biasanya kau langsung menarik lenganku?”
Joan terkekeh. “Sejak saat ini,”
bisiknya tepat ditelingaku. Ia menyeringai kecil.
Ah,
melihatnya seperti itu entah mengapa membuat bibirku sulit untuk tidak
tersenyum.
Perasaan yang semakin terasa aneh adalah
saat di mana aku merasakan Joan melingkarkan lengangnya ke bahuku. Perasaan macam apa ini? batinku. Tidak
seperti biasanya aku merasa hal seperti ini, sudah ribuan kalinya Joan
merangkulku, tapi baru kali inilah aku merasakan perasaan yang sulit aku
mengerti.
Sesekali Joan meremas lembut bahuku, dan
itu membuatku merinding (lagi-lagi) dan hanya tersenyum kecut, dan jika
sesekali ia berbisik tepat di telingaku membicarakan orang lain atau apa pun
itu, dapat membuatku terbelalak dan membeku.
“Apa kau baik-baik saja, Adina?”
tanyanya.
“Ah? Ya. Aku baik-baik saja, Jo!” kucoba
untuk menarik senyum seindah mungkin padanya—terjadi begitu saja.
Joan mengernyitkan dahinya. “Benarkah?
Kalau memang benar begitu, mengapa kau sedari tadi hanya diam saja? Mengapa kau
terlihat sangat tegang? Apa aku sudah berkata sesuatu yang membuatmu jadi
seperti itu? Katakanlah apa yang sudah aku katakana padamu!”
Aku hanya dapat mengerjapkan mata demi
mendapat hujaman pertanyaan darinya itu, lalu terkekeh.
“Mengapa tertawa seperti itu?”
“Tidak. Kau lucu saja.”
“Lucu? Apa maksudmu?”
“Kau banyak sekali bertanya, aku sampai
tidak tahu harus mana yang lebih dulu untuk dijawab.”
Joan mengernyitkan lagi dahinya dan lalu
menyeringai. “Oh, begitu. Baiklah, akan kutanya kau satu per satu. Mengapa
sedari tadi kau hanya diam saja?”
Aku mengerjap lalu bergumam sejenak
sebelum menjawab pertanyaan pertamanya itu. “Entahlah,” jawabku sembari
mengangkat kedua bahuku.
Joan menghela napas kecil. “Mengapa kau
terlihat tegang seperti itu?”
Dan sekali lagi aku mengerjap sebelum
menjawab pertanyaan keduanya, dan sepertinya aku akan menjawab dengan jawaban
yang sama seperti sebelumnya, dan juga untuk pertanyaan yang berikutnya
sepertinya akan kujawab sama. “Entahlah.”
Joan mendengus. “Sepertinya jika kutanya
lagi, kau akan menjawab entahlah lagi. Apa memang hanya kata itu saja yang kau
punya? Apa tidak ada kata-kata lainnya selain entahlah?”
Aku mengangkat kedua bahuku. “Entahlah.”
“Come
on, Adina!” Joan terlihat geram.
Aku hanya menyeringai melihat sikapnya
seperti itu.
Joan melingkarkan lagi lengannya ke
bahuku. Sempat kudengar Joan berbisik di telingaku, tidak begitu jelas ia
berbicara apa, tapi ada kata yang sangat jelas kudengar yaitu, cantik…? Cantik?
“Cantik?” tanyaku pada Joan yang segera
menghentikan langkahnya dan memandangiku. “Siapa yang kaumaksud cantik itu?”
tanyaku penasaran.
Joan tertawa kecil, lalu tiba-tiba saja…
“Tentu saja kau,” ujarnya seraya mendaratkan bibirnya ke pipi kananku—membuatku
tegang setengah mati demi mendapatkan perlakuan itu dari seorang Joan!—aku
terpaku di tempat, tak ada hal lain yang bisa kulakuan selain hanya menatapnya
dengan tatapan tak percaya.
Joan menyeringai lagi.
♣♣♣
Dan… tibalah saat ini—hari ini—pernikahan
Adam dan Fay. Kulihat mereka di sana sedang asik berbincang dengan yang
lainnya—terlihat sangat bahagia. Fay yang terlihat begitu cantik dan anggun di balik
gaun putihnya yang menjuntai panjang di belakangnya begitu terlihat sangat
cocok sekali dengan Adam yang terlihat sangat tampan—mengenakan tuxedo hitamnya.
“Fay… sungguh, kau cantik sekali di
balik gaun putih itu,” gumamku pelan.
“Terima kasih, Adina. Tapi, kau jauh
lebih cantik!”
Aku terlonjak saat mendengar seseorang
berbisik di telingaku seperti itu. Dan, kudapati Joan telah berdiri tepat di
hadapanku dengan seringai kecil di bibirnya.
“Mengapa menatapku seperti itu? Apa aku
terlihat seperti hantu yang mengerikan?” tanyanya dengan wajah innocent-nya itu.
“You
are!” jawabku seraya meninggalkannya cepat.
Kulangkahkan kakiku cepat menuju halaman
belakang yang terlihat tidak seramai di dalam sana. Entahlah, mengapa tiba-tiba
saja kakiku melangkah dengan cepatnya saat mendapati Joan tadi?
Aku duduk di atas ayunan. Kupejamkan mataku
sejenak. Menjernihkan pikiranku yang kian tak karuan, yang tak aku mengerti
mengapa aku bersikap aneh seperti ini, dan yang jelas dan sangat jelas, ini
bukan karena aku melihat Adam dan Fay bahagia. Karena saat ini, aku lebih
merasa lega dan entah mengapa ikut berbahagia atas kebahagian Adam dan Fay. Aneh, bukan? Ya, memang sangat aneh!
Beberapa saat kemudian aku merasakan
ayunan semakin melambat—membuat kepalaku mendongak untuk melihat siapa yang
dengan sengaja menghentikannya. Dan… lagi-lagi Joan yang muncul. Mengapa lelaki
satu ini selalu saja ada di mana pun aku berada?!
“Mengapa kau tadi malah pergi begitu
saja meninggalkanku?” Joan duduk di sebelahku.
“Tidak apa-apa, hanya ingin menjauh dari
keramaian saja,” jawabku sekenanya.
Joan mengernyitkan dahinya. “Bukan
karena kau cemburu melihat Adam dengan Fay, bukan?” matanya menyipit penuh
arti.
Aku membelalak. “Tentu saja tidak! Aku
sudah tidak memikirkan hal itu lagi asal kau tahu!”
Joan mengangguk mengerti—memang
sepertinya ia sudah mengerti dengan jawabanku. “Well… baguslah kalau begitu.”
“Bagus?”
“Ah, bukan apa-apa…,” Joan bangkit,
tangannya diulurkan ke arahku, “Aku suka lagu ini, mau berdansa denganku?”
ajaknya.
Kuperhatikan wajahnya dan telapak
tangannya yang terbuka secara bergantian. Aku menghela napas sejenak, dan aku
mengiyakan ajakannya.
Kuletakkan tangan kananku di atas
bahunya, sedangkan Joan meletakkan tangan kirinya ke pinggulku. Tangan kiriku
dan tangan kanannya menyatu di udara. Joan menggenggam tanganku dengan lembut,
selembut tatapannya yang kini menatapku begitu dalam dan penuh arti. Lagi-lagi
aku tidak mengerti maksud tatapan matanya.
Tatapan
macam apa ini? batinku.
Joan tersenyum… kalau kulihat-lihat…
Joan terlihat tampan dengan senyumnya yang sepertti itu. Yah, memang sih kuakui kalau Joan sudah tampan sejak
dulu. Tapi, entah mengapa, melihat ia tersenyum lembut seperti itu… oh! Mengapa
senyumnya itu membuat hatiku rasanya meluluh tak karuan seperti ini?
Astaga…
kurasa, aku memang sudah gila! Aku menggeleng kecil,
menghilangkan segala tentang senyumnya itu yang terlintas di otakku saat ini.
“Ada apa, Adina?” tanyanya.
“Ah? Tidak ada apa-apa,” jawabku sembari
tersenyum. Kuselaraskan setiap langkah-langkah kakinya.
Seketika, aku merasakan Joan menarik
tubuhku agar semakin mendekat, dan benar saja, kini lengan kirinya telah
melingkari pinggangku. Tapi, tidak hanya lengan kirinya, lengan kanannya pun
ikut melingkar. Dan, lagi-lagi entah mengapa, dengan sendirinya kedua lenganku
melingkar di lehernya, dan wajahku menempel di bahunya yang bidang.
Totally
perfect!
Bagaimana bisa aku merasa senyaman ini
di dalam pelukannya? Dan… mengapa rasanya musik lama sekali mengalun? Entahlah,
semoga saja tidak akan pernah berhenti mengalun, yang kuinginkan sekarang ini
hanyalah terus berada di dalam pelukan lelaki ini, pelukan yang terasa hangat
dan nyaman.
♣♣♣
Ini sudah pukul dua pagi, tapi aku masih
belum juga bisa menutup mataku seutuhnya. Astaga, apa yang sebenarnya sudah
terjadi padaku? Mengapa begitu banyak perasaan yang tak kumungerti bergulat
dengan hebatnya di hatiku akhir-akhir ini? Mengapa perasaanku menjadi aneh
seperti ini?
Entahlah.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan
berjalan mendekati meja rias yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat
tidurku. Kupandangi wajahku dengan begitu seksama. Cukup lama aku duduk berdiam
diri di depan cermin tanpa melakukan apa pun membuatku jengah, kuputuskan untuk
berjalan ke luar kamar dan menuju ruang tengah.
Kubanting tubuhku ke atas sofa dan lalu
menghidupkan televisi. Dan tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh sesuatu yang
sangat keras berdering tepat di samping sofa tempatku merebahkan tubuhku.
Aneh,
siapa yang menelepon di tengah malam seperti ini?
Kubiarkan dering telepon itu terus
berdering hingga meninggalkan bunyi bip
dan masuklah pesan suara dari seseorang di seberang sana.
“Hei,
Adina! Ini aku Joan. Hahaha… aneh sekali ya aku ini? Untuk apa aku meneleponmu
di tengah malam seperti ini? Pasti bunyi telepon apartemenmu sangat mengganggu
tidurmu, bukan? Yah, maafkan aku jika memang aku ini mengganggumu…. Hmm…
entahlah, Adina. Entah mengapa jemari tanganku bergerak dengan sendirinya
memencet nomor teleponmu. Mungkin karena aku sangat merindukanmu saat ini…
hahaha… ya, mungkin. Entahlah, Adina…. Ah! Ya, memang benar begitu, Adina… aku
sangat merindukanmu, bahkan amat sangat merindukanmu… I
just can’t stop thinking about you, Adina…
wherever… and whenever I am… I always think about you… and since the day I met
you… I’ve fallen in love with you, Adina…
I know it sounds weird. But, that’s the fact, Adina… sudah lama aku memendam perasaan ini, hmm… mungkin kurang lebih sudah
sepuluh tahun lamanya, hahaha… bodoh sekali ya aku ini memendam perasaan selama
itu? Well… aku tidak bisa
terus-menerus membohongi perasaanku sendiri… ik hou van je—aku mencintaimu,
Adina.”
Bip….