“Il
mio nome è Corrado. Qual è il tuo nome, Bella Signora?”
Aku terperangah sejenak saat seseorang dengan
Bahasa Italia yang cukup aku mengerti, datang menghampiriku sembari menjulurkan
tangannya padaku.
“My
name is Corrado. What is your name, Beautiful Lady?” katanya—mungkin ia
menyangka aku tidak mengerti Bahasa Italia—ia tersenyum lagi.
“Ah!
My name is Lana,” balasku.
“What
a beautiful name, Lana!” pujanya dengan aksen Italia yang sangat kental. Ia
mengecup ringan jemariku yang masih di genggaman tangannya. Mata coklatnya
tersenyum memandangiku.
Ah, sinting! Langsung kutarik tanganku yang berada di dalam genggamannya, lalu mencoba untuk balas tersenyum. “You too, Corrado.”
Ah, sinting! Langsung kutarik tanganku yang berada di dalam genggamannya, lalu mencoba untuk balas tersenyum. “You too, Corrado.”
“Ya, seperti yang kau lihat,” jawabku acuh tak acuh, pandanganku masih menghadap ke lautan.
Corrado mengangguk—dapat kulihat dari sudut mataku. Ia terdiam sejenak,
memandangi wajahku dengan penuh seksama. Jengah dipandangi seperti itu
olehnya—lelaki yang baru saja berkenalan dengaku belum sampai lima menit yang
lalu, sudah memandangiku penuh arti seperti itu.
“Lana…,” panggilnya lembut, bertepatan
hembusan angin laut menerpa wajahku.
“Ya?”
“Perhaps
it will sound weird. But, Lana…," kurasakan hembusan napasnya yang panjang mengenai telingaku. Lalu ia melanjutkan, "I fell in love with you.”
What
the hell is he talking about? Aku terperanjat demi
mendengarnya berkata seperti itu tiba-tiba. Kami belum lama berkenalan, tapi
sudah dengan berani dan yakinnya ia berbicara kalau ia jatuh cinta padaku?
Sungguh gila!
Sungguh gila!
“You’ve
got to be kidding me, Corrado! Kau dan aku baru saja berkenalan beberapa
menit yang lalu, why you suddenly said
that you fell in love with me?”
“I'm not kidding at all,
Lana! Mi sento davvero innamorato di te… l'amore arriva quando e dove siamo, Lana. L'amore non sembra al tempo, It's like… cintaku padamu yang tak
mengenal waktu."
Dibuat pusing kepalaku olehnya dengan ucapannya dalam Bahasa Italia yang tidak dapat aku mengerti sepenuhnya itu. Terlebih lagi ia berbicara terlalu cepat, sulit untukku mencerna.
"I beg your pardon?" pintaku agar Corrado dapat mengulang kata-katanya.
"I'm really in love with you...," Corrado memperlembut dan memperdalam suaranya, "love comes wherever and whenever we are, Lana. Love doesn't look the time..."
"Okay, okay, stop it. I got it!" Aku terkekeh demi mendengar leluconnya yang sangat tidak lucu itu. “Well… sorry, Corrado, gotta go now, I have something to do!” kataku yang lalu bergegas berdiri. Tiba-tiba Corrado menahan lenganku.
Dibuat pusing kepalaku olehnya dengan ucapannya dalam Bahasa Italia yang tidak dapat aku mengerti sepenuhnya itu. Terlebih lagi ia berbicara terlalu cepat, sulit untukku mencerna.
"I beg your pardon?" pintaku agar Corrado dapat mengulang kata-katanya.
"I'm really in love with you...," Corrado memperlembut dan memperdalam suaranya, "love comes wherever and whenever we are, Lana. Love doesn't look the time..."
"Okay, okay, stop it. I got it!" Aku terkekeh demi mendengar leluconnya yang sangat tidak lucu itu. “Well… sorry, Corrado, gotta go now, I have something to do!” kataku yang lalu bergegas berdiri. Tiba-tiba Corrado menahan lenganku.
Dengan cepatnya Corrado mendekatkan wajahnya dan terus
semakin mendekatkan wajahnya untuk mendekati wajahku. Aku tahu apa yang hendak ia lakukan padaku. Aku
langsung memalingkan wajahku saat jarak kami sudah begitu sangat dekat. “Sorry, Corrado. I’ve to go!”
Segera kupercepat langkahku meninggalkan
lelaki Italia sinting itu!
Sempat kudengar ia memanggil namaku,
tapi kuhiraukan panggilannya itu dengan melambaikan tangan tanpa membalikkan
tubuh.
Benar-benar lelaki Italiano sinting! Rutukku dalam hati.
Bisa-bisanya bilang kalau dirinya jatuh cinta padaku? Perkenalan belum sampai
sepuluh menit tapi ia sudah dengan percaya dirinya mengatakan ‘I fell in love with you’. Well, bukannya terdengar aneh, but sounds fucking disgusting!
“What’s
going on, Lana? Kau tampak aneh?” tanya Nenek Pietra.
Aku menarik senyum tipis. “Nothing, Nonna. Just getting tired,” jawabku sembari berjalan kembali ke kamarku.
“Kapan temanmu akan tiba, Lana?” tanya nenek sebelum aku sempat
memasuki kamarku.
“Domani—besok, Nonna,” jawabku.
♣♣♣
“Lana,
would you mind to accompany me to go outside? I feel messy right now! Please?”
Agnola menatapku penuh harap. Wajahnya terlihat kacau, sekacau rambut panjang hitamnya
yang berantakan.
“Come on, Lana! Please, please! I need
someone to hear what I want to share about.”
Aku menghela napas sejenak sebelum
menjawab, “Okay,” jawabku akhirnya.
Agnola tersenyum sumringah, ia langsung
menarik lenganku. Ia mengajakku untuk duduk di atas batu besar tepi Laut
Mediterania—salah satu batu tempat favoritnya untuk menyendiri.
“Sekarang ceritakan padaku apa yang
hendak kau ceritakan!”
Kudengar Agnola menghembuskan napas
berat, seberat beban pikirannya saat ini—mungkin—pikirku.
“Nonna
tidak suka pada Julio, Lana! Nonna bilang,
kalau Julio bukanlah lelaki yang pantas untukku, the only man who deserve me is the man who already chosen by Nonna, Lana!
Aku tidak akan mau kalau tidak dengan Julio, Lana!” Agnola menghembuskan napas
beratnya kembali. “So, what should I do
now? I have no idea, Lana!”
Kupandangi wajah Agnola yang terlihat
sangat jelas ada perasaan marah dan sedih bercampur menjadi satu di sana.
“Well…
if you really love him, show to Nonna, tell her that only Julio—the only man who deserve to be the part in your life, hanya Julio-lah yang kau cintai, and that’s only him can make you happy.”
“Okay, aku akan mencoba. But, Lana, you know your Nonna so well. Kalau sudah
pada pilihannya dan keputusannya, sulit untuk Nonna merubahnya.”
Aku terdiam sejenak. Aku baru ingat akan
sifat nenek yang keras kepala seperti itu. Bagaimana nanti saat kuperkenalkan
dirinya pada nenek? Bagaimana kalau nanti nenek tidak suka denganya? Bagaimana
kalau nenek ternyata juga sudah mempunyai pilihan hatinya sendiri dan sudah
dirundingkan dengan mama? Bagaimana jika….
“Lana!”
Aku tersentak demi mendengar Agnola berteriak tepat ditelingaku. “What?”
Ah! Semoga saja apa yang sudah kupikirkan tidak akan terjadi.
“Mengapa kau jadi diam seperti itu?”
Aku mengendus kecil. “Kau ini! Ya
sudahlah, Agnola! Just keep trying, maybe
someday Nonna will change her mind.”
“I
hope so.”
Kulingkarkan lengan kananku ke bahu
Agnola.
“Sekarang coba kau ceritakan padaku
tentang seseorang yang hendak datang besok! Seperti apa dia rupanya?”
Aku tertawa kecil, lalu bergumam, “Umm…
besok sendiri saja kau lihat langsung orangnya,” jawabku. Agnola melipat kedua
lengannya di depan dada.
“Buonanotte,
Lana bella!” sapa seseorang dari
belakang, dan sepertinya aku mengenal pemilik suara tersebut—yang baru saja
berkenalan denganku sore tadi dan sudah berani-beraninya mengatakan kalau
dirinya jatuh cinta padaku.
Aku menoleh. Dan benar saja dugaanku!
Corrado menyeringai kecil.
Corrado menyeringai kecil.
“Hey! Buonanotte, Corrado!” sahut Agnola.
“Buonanotte,
Agnola!” balas Corrado.
“Seems
like I have to go now,” ujar Agnola yang segera bangkit.
Kutarik lengannya sebelum ia
melangkahkan kakinya. “Where are you
going? You leave me alone in this cold night?”
“Tidak, aku tidak meninggalkanmu sendiri
di sini. Lihatlah! Ada Corrado yang akan menemanimu, Lana!”
“But—”
Dan Agnola berlalu begitu saja. Hendak
aku mengejarnya, Corrado sudah lebih dulu menarik lenganku. Apa daya tangannya
yang besar dan kuat membuat diriku tidak bisa mengelak dan menepiskan
genggamannya itu.
“Duduklah!” katanya.
Dengan rasa malas yang amat sangat, aku
pun duduk di sebelahnya—kuberi sedikit celah agar kami tidak benar-benar bersebelahan.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
tanyaku ketus.
Corrado tertawa kecil. Apa ada yang lucu
dari pertanyaanku? Mengapa ia malah tertawa seperti itu? Weird!
“Di sanalah rumahku!” telunjuk tangannya
menunjukkan sebuah rumah yang jaraknya tidak begitu jauh, atau bahkan hanya
beda beberapa bangunan saja dari rumah nenek. “Tidak begitu jauh bukan dari
rumah Nonna Pietra?”
Kedua alisku bertaut. Sepertinya tadi
aku bertanya ‘apa yang sedang kau lakukan’, tapi mengapa ia justru memberitahu
di mana letak rumahnya?
“Well,
aku hanya sedang merasa bosan saja di dalam rumah. Jadi, aku keluar untuk
berjalan-jalan sekedar mencari udara segar saja,” ujaranya yang sepertinya tahu
apa yang sedang terlintas di pikiranku saat ini.
Aku hanya menanggapinya dengan bergumam.
“It
seems like that you don’t like talk too much.” Corrado memiringkan
kepalanya agar dapat melihat jelas wajahku, dan itu membuatku jengah, mengingat
kejadian sore tadi—dengan mudahnya dan sintingnya ia mengatakan kalau ia jatuh
cinta padaku.
“Oh, ya?” jawabku acuh tak acuh.
Ia menghembusakan napas, dapat kurasakan
napasnya menyentuh kulitku. “Sepertinya kau tidak suka dengan kedatanganku?”
Ya!
Sangat! Sangat tidak suka! Lebih baik kau pergi sekarang, Corrado!
Batinku kesal. Masih saja ia bertanya seperti itu!
“Baiklah, jika memang benar begitu, aku
akan pergi dari hadapanmu. Arrivederci, Lana!”
Dan Corrado pun menghilang dari hadapanku. Aku menghembuskan napas lega.
♣♣♣
“Psstt!
Wake up, Honey! Svegliati, Cara!”
Mendengar seseorang berkata Cara, aku terpaksa harus memaksa diriku
untuk kembali ke dunia nyata! Ugh, menganggu
istirahat orang saja!
Sinar matahari menyenilap masuk dari
jendela kamarku, membuat kedua mataku sulit untuk terbuka sempurna, dan sulit untuk
melihat siapa yang sudah ada di hadapanku saat ini.
“Svegliati,
Cara! Ti amo,” ucapnya lagi seraya mengecup ringan keningku.
Ah! Aku kenal akan gaya suaranya yang
khas itu. “Kevin?” ya, tentu saja itu Kevin! Tanpa pikir panjang lagi, aku pun
langsung memeluknya. “I miss you so much,
Kevin!”
Kevin membelai kepalaku dan lalu
mengecupnya cukup lama. “Aku pun juga begitu, Lana!”
Aku semakin mengeratkan pelukanku.
Sungguh, rindu sekali aku padanya. Seminggu tidak bertemu itu terasa sangat
lama sekali!
“How
are you doing?” tanyaku sembari melepaskan pelukanku.
“Baik, bagaimana kau sendiri?”
“Seperti yang kau lihat! Oh, ya. Apa kau
sudah bertemu dengan nenek?”
Kevin mengangguk. “Nenekmu cepat sekali
tadi bicaranya, aku tidak mengerti sama sekali apa yang dibicarakannya itu,
yang aku tahu hanya saat dia menanyakan siapa nama diriku, itu pun beliau
bertanya memakai Bahasa Inggris!”
Aku tertawa kecil. “Lalu, bagaimana kau
bisa tadi membangunkanku pakai Bahasa Italia? Svegliati, Cara? Where did you get that?”
Kevin menyeringai kecil. “Aku bertanya
dulu pada nenekmu tadi. Bahasa Italia yang kutahu hanyalah ti amo, tidak ada yang lain lagi.”
“Dasar kau ini!”
“Lebih baik sekarang kau mandi, setelah
itu kau temani aku melihat indahnya Laut Mediterania!”
“Ya, ya, ya, baiklah!” aku beranjak
malas dari atas tempat tidurku.
♣♣♣
Kevin menatapku dengan tatapan aneh,
tatapan yang tidak seperti biasanya. Ada apa dengan dirinya? Sepertinya ia
ingin mengatakan sesuatu, entahlah apa yang ingin dikatakannya, karena itu
terlihat sangat jelas di dalam matanya.
“Kevin.”
“Ya?” sahut Kevin tanpa ekspresi—tidak
seperti biasanya ia tidak memberikan senyum saat aku memanggil namanya.
Aku mendengus kecil. “Kau terlihat aneh
sekali. Apa kau tidak suka berada di sini?”
“Ah? Tidak. Tentu saja aku sangat suka
sekali berada di sini,” jawabnya dengan seringai kecil di bibirnya. Seringai
itu terlihat seperti… memaksa.
“Kevin… sudah berapa kali aku bilang
padamu? Aku ini tidak bisa kau bohongi begitu saja! Aku tahu pasti ada sesuatu
yang sedang mengganggu pikiranmu saat ini, benar begitu, bukan?”
Kevin diam tidak langsung menjawab. Ia
merundukkan kepalanya, dan aku dapat mendengar hembusan napasnya.
Kuraih wajahnya dengan kedua telapak
tanganku. “Ada apa? Apa yang sudah mengganggu pikiranmu?” tanyaku lembut.
Kevin menghembuskan napas lagi, dan itu
terlihat berat—sangat jelas.
“Nenek…,” ia menggantung kalimatnya
sejenak. Kuangkat satu alisku, mengisyaratkannya untuk melanjutkan perkataannya.
“Nenek… entahlah, Lana. Saat kali pertamanya aku bertemu nenek, nenek terlihat
tidak begitu bersahabat. Beliau berbicara cepat sekali dalam Bahasa Italia yang
tidak dapat aku mengerti, dan berbicara dengan tatapan… meremeh—tidak suka.
Sebelum bertanya siapa namaku, nenek sempat berkata…,” lagi-lagi Kevin
menggantung kalimatnya, dan ini cukup lama, membuatku jengah demi melihat raut
wajahnya yang seperti itu.
“Apa? Apa yang sudah Nonna katakan, Kevin?”
“She
said that… you look not deserve my Lana.”
Dan… seketika mendengar ia berkata
seperti itu membuat tenggorokanku tercekat cukup kuat hingga sulit untuk
berkata-kata.
“Setelah berkata seperti itu, barulah nenek
bertanya siapa namaku dan langsung berlalu begitu saja dari hadapanku… tanpa
tersenyum sama sekali. Saat itu ada sepupumu Agnola yang melihat kejadian, lalu
ia menghampiriku dan mengantarkanku ke kamarmu.”
You
look not deserve my Lana. Apakah benar nenek sudah berbicara
seperti itu? Apakah Kevin tidak salah mendengar? Jadi… apa yang kutakutkan
semalam itu benar-benar… terjadi? Nonna tidak
tertarik pada Kevin? Dan… apakah itu artinya… Nonna sudah mempunyai pilihannya sendiri?
Astaga! Bagaimana mungkin ini bisa
terjadi?
“Kevin,” panggilku parau, tak kuasa lagi
aku menahan butiran air mata yang terus tertampung di pelupuk mata.
“Ssstt… everything’s gonna be fine, okay?” Kevin menyapu air mataku dengan
bibirnya, dan melabuhkannya lama di bibirku.
♣♣♣
“Nonna,
please! What’s the matter? You know that how much I love him, Nonna! Please,
think about it!”
Nenek melengos, aku tahu nenek akan
bersikap seperti itu.
“Nonna…
you wanna see me happy, right? You wanna see me happy with someone, right? But
my happiness is Kevin only, Nonna. Kumohon pada Nonna untuk tidak keras kepala untuk sekali ini saja!”
Lagi-lagi nenek hanya diam tidak menanggapi
perkataanku. Ya Tuhan, betapa keras kepalanya nenek yang terus mengacuhkanku
seperti itu.
Kevin meraih lenganku lalu berbisik,
“Sudahlah, Lana!”
Kedua aliku bertaut heran menatap
dirinya. “Kevin? Apa kau akan membiarkannya begitu saja? Apa kau menginginkan
hubungan kita memang harus diakhiri begitu saja hanya karena nenek?”
“Tapi, Lana—”
Kuhempaskan genggamannya dan berlalu
dari hadapannya serta Nonna yang
masih mengalihkan wajahnya.
“Lana!” panggil Kevin, tapi kuhiraukan
panggilannya itu, aku terus berjalan dengan cepat sampai pada akhirnya Kevin
dapat meraih lenganku kembali. “Lana, wait
a second! Lana, look! Lana, mau
sekeras apa pun kau berusaha, nenek tetap akan keras kepala, kau sudah tahu
akan hal itu!”
“Bagaimana aku bisa diam saja, Kevin?
Aku tidak akan sanggup jika aku harus menikahi lelaki pilihan Nonna!”
“Aku tahu, Lana, aku tahu! Tapi tidak
seperti itu caranya menghadapi nenekmu yang keras kepala!”
“Lalu bagaimana, Kevin? Bagaimana?”
“Sudahlah, hal itu nanti saja
dibicarakan lagi. Lebih baik sekarang kau tenangkan pikiranmu dulu, setelah itu
baru nanti kita bicarakan,” katanya seraya menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
“Corrado?”
gumamku pelan saat melihat sosok lelaki yang berdiri di ambang pintu rumah
nenek. Mengapa lelaki itu bisa ada di sana? Mengapa... atau jangan-jangan... Oh, God! Jangan biarkan hal itu sampai terjadi!
“Ada apa, Lana?” tanya Kevin—sepertinya
ia mendengar gumamanku.
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
♣♣♣
Dan setiap malam harinya aku lebih
menghabiskan waktuku di kamar nenek hanya untuk terus memohon kepadanya agar
nenek merubah pikirannya itu. Aku bisa gila kalau harus terus menerus mengikuti
kemauannya.
Tanggapannya selalu sama, nenek selalu
diam seribu bahasa jika aku sedang berbicara padanya. Wajahnya selalu dialihkan, enggan untuk melihatku. Sungguh, betapa sulit dan sangat keras kepala sekali
nenek.