Ini sungguh sulit. Aku tahu tidak seharusnya aku
merasakan hal ini. Aku tahu waktu memang tidak akan pernah berputar kembali.
Tapi, apa daya nasi yang sudah menjadi bubur? Dapatkah bubur kembali dibuat
menjadi nasi? Tentu saja tidak. Begitu tentang kisah ini.
Entahlah sudah berapa lama dan untuk berapa lama
lagi aku harus terus berpura senyum, tertawa, dan merasa semua baik-baik saja
di hadapannya. Dia sudah ada yang memilki dan itu bukan diriku, tentu saja. Betapa bodohnya aku ini! Rutukku dalam
hati.
“Papa kamu tukang kunci ya?”
“Iya, kok kamu tau? Karena aku sudah mengunci hatimu
ya, Sayang?” Nara menggelayut manja di tangan Denis.
“Bukan, soalnya aku mau buat kunci duplikat mobilku,
biasa buat jaga-jaga kalau hilang nanti,” balasnya sembari menyeringai kecil.
Dan aku, di sini, di hadapannya, hanya bisa menarik
tipis kedua sudut bibirku melihat kemesraan dua insan muda yang begitu terlihat
sangat… serasi. Yeah, kuakui itu. Dan
melihat hal itu selalu saja kata andaikan
melintas di pikiranku. Entahlah sudah berapa kali kusebut andaikan dalam hidupku, tak terhingga. Andaikan aku yang ada di samping kamu, Den.
Batinku bodoh. Sangat bodoh. Karena aku tahu itu tidak mungkin dan tidak akan
pernah mungkin terjadi.