Menunggu dan terus menunggu memang
ternyata menyakitkan. Semua terjadi di luar dugaan. Dan, belum pernah kurasakan
sebelumnya. Hingga akhirnya kumengerti arti semua yang ada.
Kuakui, mungkin aku terlalu buta, buta
akan cinta, cinta yang tak seharusnya kurasakan, perasaan yang harus berujung
dengan kesakitan. Tapi, bukankah cinta butuh pengorbanan? Bukankah cinta butuh
kepastian? Bukankah semua yang ada perlu dibuktikan?
Lupakan.
Aku terlalu lemah. Segala sesuatu
terlihat memerah. Segala sesuatunya terlihat begitu ambigu. Mungkin karena aku
terlalu lugu? Atau mungkin karena aku terlalu dungu? Bias saja karena aku
terlalu malu.
Mungkin.
Well…
aku terlalu bodoh karena aku tak pernah bisa dan tak pernah mau untuk
mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padanya. Bagaimana mungkin bisa aku
mengungkapkannya kalau Dia masih saja selalu memikirkan seseorang yang sudah
lama, bahkan hampir dua tahun lamanya sudah tidak pernah menjalin hubungan
lagi? Aku tidak ingin hal yang sudah susah payah kupertahankan―maksudku, aku
tidak akan pernah mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya karena hal itu
akan membuatku semakin jauh darinya―harus berakhir dengan hubungan yang tidak
kuinginkan. Dan, sungguh aku tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.
Aku memang gila, bagaimana tidak? Sudah
tak dapat lagi aku menghintung waktu lamanya aku menunggu Dia. Dia yang saat
ini hanya mengisi relung hatiku, memegang kunci pintu hati yang ingin sekali
rasanya kurampas dan kukeluarkan dirinya dari dalam ruang itu dan menggantikannya
dengan orang lain, yang mana yang pasti lebih pasti.
Waktu berlalu…
Kucoba untuk melawan perasaanku
sendiri. Kudobrak pintu itu dengan sekuat tenaga yang terkumpul. Pintu pun
akhirnya terbuka dengan sedikit kerusakan di kenopya. Dengan cepat kuraih kunci
pintu yang masih di genggaman Dia dengan paksa. Kutarik lengannya keluar secara
perlahan, dan berkata padanya, “Maaf, kurasa kau sudah terlalu lama mengurung
dirimu di sini, dan kuharap kau segera pergi, karena aku sudah terlalu lelah
menunggumu yang tak kunjung memberikan tanda dan kepastian.” Sempat kudengar
Dia menjawab, “Bagaimana mungkin aku memberi kepastian kalau kau sendiri tidak
pernah mencoba untuk mengatakannya padaku?” Seketika aku kembali menciut. Lengannya
di genggamanku terlepas perlahan dan aku berpikir kembali.
Yeah,
mungkin aku tidak pernah mengatakan yang sebenarnya kepada dirinya, tapi satu
hal yang telah kuketahui, bahwa cinta tidaklah memerlukan lidah untuk berkata-kata,
melainkan mata yang berbicara.
Dan, akhirnya tetap kupaksa Dia keluar
dari dalam ruang yang terlihat begitu indah dan rasanya sudah lama sekali tak
kulihat pemandangan indah itu. Lalu, beberapa saat setelah Dia pergi, seseorang
berkata di belakangku, “Bolehkah aku yang menggantikan dirinya?” aku pun
menoleh. Aku beku. Tak dapat berkata. Lalu orang itu berkata lagi, “Biarkan aku
masuk dan mengunci pintu hatimu, tapi tenanglah, aku tidak aka pernah mengambil
kunci itu dari tanganmu, karena kutahu, kau yang berhak menentukan atas segala
pilihanmu.” Dan, seketika kedua sudut bibirku terangkat. Aku pun membiarkannya
masuk ke dalam ruang indah itu.
Walaupun memang jejak Dia yang sudah
pergi masih membekas di dalam ruangan, aku akan tetap berusaha untuk meyakini
perasaanku, bahwa jejaknya akan hilang.
Hidup adalah sebuah pilihan.
Dan kau harus memilih.