Love and Hurt


Diana terpaku ditempat, ia menahan butiran-butiran air yang tertahan di matanya. Otaknya terus memutar ucapan terakhir Arfan, kekasihnya, tidak! Mantan kekasih! “Kita putus!” kata itu keluar dengan mudah dari mulut Arfan, tanpa alasan. Lalu ditinggalnya Diana tanpa rasa kasihan atau apa pun. Yang ditinggalkannya hanyalah sebuah kekecewaan yang mendalam di hati Diana.


Percuma saja hubungan yang sudah dibina dua tahun, kandas begitu saja di tengah jalan, tanpa alasan, tanpa perasaan, juga tanpa maaf.


Entah mengapa, Diana masih belum bisa terima Arfan memutuskannya, ia butuh alasan dan penjelasan, mengapa ia di putuskan? Apa salahnya? Di saat Diana mulai mencintainya, ia ditinggalkan begitu saja.


Awal hubungan ini terjadi karena keterpaksaan dari kedua orang tua mereka. Diana dan Arfan sudah direncanakan untuk di jodohkan. Saat umur mereka menginjak 25 tahun, barulah mereka diberi tahu.


Sejak awal perkenalan. Mereka harus bisa berpura menjalin hubungan di depan orang tua mereka. Setelah akhirnya mereka berencana untuk serius menjalin hubungan ini, dengan mulai membagi waktu bersama dan menumbuhkan benih-benih di hati mereka berdua.


Tapi… rasa cinta itu telah dibalas dengan rasa sakit hati yang amat sangat mendalam.


“Lo harus kuat, Di!” Rifki mencoba menenangkan Diana, “Arfan tuh emang brengsek!”


Kini butiran-butiran yang susah payah Diana tahan, berebut keluar dari matanya, membasahi pipinya.

Rifki mengusap pipi Diana yang dipenuhi dengan liangan air mata. “Diana yang gue kenal itu orangnya kuat… gak cengengen!” Rifki memeluk Diana kembali.


Diana mengeratkan pelukan laki-laki itu. Tangisnya mulai terkuak. “Aku nggak terima! Aku butuh penjelasan! Kenapa dia mutusin aku disaat aku mulai mencintai dia? Kenapa?” Air matanya makin deras keluar membasahi pipinya.


Satu bulan kemudian….


“Udah dong, Di… mau sampe kapan lo harus terpuruk dalam kesedihan kayak gini?” suara Rifki membuyarkan lamunan Diana. Diana hanya menoleh sesaat, wajahnya di palingkan lagi keluar jendela. “Gue nggak tahan liat lo kayak gini terus….” Rifki berjalan menghampiri Diana.


“Aku… aku gak tau harus berbuat apalagi, bayang-bayang Arfan masih terus memenuhi otakku… sampe sekarang pun aku masih ingin tau, apa alasan dia mutusin aku….”


“Ya udahlah… yang lalu biar berlalu! Sekarang ya sekarang!”


Diana terdiam sejenak, “Nggak! Aku harus ketemu sama Arfan sekarang! Aku harus minta penjelasan sama dia!” Diana langsung bangkit dari jendela. Diambil jaket birunya, dan bergegas pergi.


“Di,” Rifki mengikuti langkah Diana, “lo nggak usah konyol kayak gini dong! Nggak ada gunanya juga lo ketemu dia sekarang! Di, come on!”


Langkah Diana terhenti, ia langsung membalikkan tubuhnya dan menatap Rifki tajam. “Konyol? Kamu bilang ini konyol? Kamu itu nggak tahu rasanya sakit hati, Ki! Karena kamu emang nggak pernah ngerasain rasanya mencintai seseorang!” Diana langsung meninggalkan Rifki yang terpaku di tempat.


“Lo salah, Di… sakit hati gue melebihi rasa sakit hati lo yang lo rasain ke Arfan, karena gue….”

----
Diana tahu kemana dia harus menjalankan mobilnya untuk menemui Arfan. Ia memakirkan mobilnya di depan cafĂ© celcius. Dugaannya benar, ia melihat Arfan sedang duduk sambil menyeruput kopinya. Tapi dengan… seorang wanita?


Diana langsung menghampiri Arfan, “Hai, Fan!” sapa Diana.


“Di-Diana?” Arfan tersentak kaget.


“Aku perlu bicara bentar sama kamu!” Diana melirik ke arah wanita yang sedang bersama Arfan, “Maaf, Mba, saya pinjem dulu Arfannya, sebentar!” Diana langung menarik lengan Arfan, dan membawanya menjauhi wanita tersebut.


“Ada perlu apa lagi kamu?” tanya Arfan ketus.


“Aku butuh penjelasan dari kamu! Kenapa sebulan yang lalu kamu mutusin aku gitu aja? Tanpa ngasih aku kesempatan untuk bicara? Kenapa?”


“Udahlah, Di! Itu udah lalu! Lagipula hubungan kita kan cuman sekedar perjodohan orangtua, jadi kenapa harus minta penjelasan segala?”


“Tapi kamu mutusin aku disaat kita udah sepakat, untuk  menjalin hubungan dengan serius!”
         
“Hey! Itu kan masih baru menjalin! Setelah aku jalanin, aku tetep nggak bisa naruh perasaan aku ke kamu!”


“Tapi kenapa disaat aku mulai mencintai kamu, Fan?” setitik air mata Diana keluar dari matanya.


Arfan terdiam sejenak. “Maaf! Aku nggak tau kalo kamu mencintai aku, tapi aku mutusin kamu juga karena ada alasannya….”


“Apa?”


“Karena aku… mencintai orang lain.”


“Wanita itu?” Diana menunjuk ke arah wanita yang dimaksud. Arfan tidak menjawab. “Oke… aku terima keputusan kamu itu. Aku terima kasih banget karena kamu udah bikin aku sakit hati!!” Diana langsung meninggalkan Arfan. Dibiarkan air matanya deras keluar karena sudah tidak dapat ditahan lagi.


Diana keluar, Rifki masuk. Tapi, mereka tidak berpapasan karena di pintu yang berbeda.


Rifki langsung mendekati meja Arfan. Tanpa pikir panjang lagi kepalan tangan Rifki mendarat keras ke pipi Arfan. “Di mana, Diana?” Rifki menarik kerah baju Arfan.


“Di-dia udah keluar!” jawab wanita yang duduk disebelah Arfan.


Rifki langsung melepaskan tangannya. Ditnggalkannya Arfan. Ia langsung mengejar Diana. Sudah berkali-kali ia menghubungi nomor Diana, tapi tidak di angkat-angkat, terakhir nomornya tidak aktif. Ia semakin cemas dengan keadaan Diana sekarang.


“Aduh, Diana… lo ke mana sih? Cepet banget ilangnya! Kenapa gue bisa nggak papasan sama dia tadi di pintu? I-itu mobil Diana!” Rifki langsung tancap gas untuk menyusul Diana. Ia tetap jaga jarak, agar Diana tidak curiga kalau ada yang membuntutinya.


“Mau ke mana dia?” Rifki masih terus mengikutinya. Sampai akhirnya Diana menghentikan mobilnya di tepi jalan fly over yang terletak di kemayoran. Ia langsung turun dari mobil dan menghampiri Diana yang sedang berdiri ditepi jalan. “Diana!!” teriak Rifki sambil berlari menghampiri.


“Rifki?”


“Ya Allah, Di. Lo mau ngapain di sini? Bunuh diri?” Rifki mulai panik. “Bunuh diri bukan cara nyelesain masalah dengan baik!” Rifki langusng memeluk erat Diana.


“Hah? Bunuh diri?” Diana mulai bingung. “Bunuh diri apa coba?” Diana melepaskan pelukan laki-laki itu.


“Loh? Bukannya mau bunuh diri?”


“Tadinya sih iya aku mau… tapi, aku pikir-pikir, nggak deh ya! Nanti mama siapa yang mau jagain?”


“Astagfirullah. Lo tuh bikin orang panik aja tau nggak!”


“Lagian kamu aja yang lebay tuh, udah asal main panik aja!”


“Ya gimana nggak panik? Gue tuh nggak mau kehilangan lo tau!”


Oopss… keceplosan.


“Maksud kamu?”


“Ng-nggak… maksud gue, kalo lo nggak ada, entar nggak ada orang yang bisa buat tempat gue isengin lagi dong?”


“Ih… masih aja sempet-sempetnya kamu mau ngisengin aku. Aku lagi sedih, bukannya dihibur, malah diisengin!”


Rifki memeluk Diana lagi, “Tenang aja, Di… si Arfan udah gue kasih pelajaran!”


“Makasih ya, Ki. Selama ini kamu udah jadi sahabat yang paling baik dan paling ngertiin aku banget… aku gak tau apa jadinya kalo kamu gak ada buat aku….”


Andai aja kamu tau Diana, kalo aku sayang banget sama kamu, aku gak mau kehilangan kamu. Dan aku selalu ingin ada di samping kamu, dalam keadaan apa pun.


 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya