Rindu

Sudah hampir seminggu aku tidak berbicara dengannya. Sebesar itukah Danny marah padaku? Sampai menyapaku saja tidak mau, menatap wajah pun segan baginya. Aku sudah cukup bersabar menghadapinya, bagaimanapun juga aku yang salah atas kemarahannya padaku itu. Tapi aku juga tidak ingin masalah ini terus saja larut dalam kediaman yang tiada arti.

Tidakkah Danny tahu betapa aku merindukannya saat ini? Merindukkan akan setiap suara, tawa, canda dan godaanya padaku. Aku sangat merindukan itu. Terutama janin yang ada di dalam perutku saat ini. Pasti ia akan sangat sedih sekali melihat ayahnya bersikap seperti itu.

Aku lihat Danny turun dari tangga dan berjalan menuju dapur. Aku segera mengikutinya dari belakang. Ia mengambil segelas air putih. Aku berjalan menghampirinya secara peralahan seraya memanggil, “Danny.” Tapi Danny tidak menyahut, ia membalikkan tubuhnya dan berlalu begitu saja dari hadapanku. Dengan cepat aku langsung meraih lengan Danny. “Please! Mau sampai kapan kau akan seperti ini, Danny?”

Aku sangat berharap saat ini Danny akan menolehkan kepalanya padaku.

Dan, terima kasih Tuhan! Danny menolehkan kepalanya. “Sampai kau benar-benar sadar dengan apa yang telah kau perbuat!” jawab Danny dengan nada yang tidak bersahabat.

Aku menghela nafas. Sadar? Aku sudah cukup sadar dengan apa telah kuperbuat. Dan aku akui kalau aku memang salah. Tapi apalagi yang perlu aku sadari?

“Aku sadar dengan apa yang telah aku perbuat, Danny! Aku sadar kalau sudah sangat menyakiti hatimu! Aku sadar kalau perbuatanku itu memang salah! Lalu, apa lagi yang harus aku sadari? Belum cukupkah itu semua?” entah mengapa, justru aku yang emosi di situasi seperti ini.

“Satu!” Danny menekan suaranya. “Satu hal yang belum kau sadari! Perbuatanmu itu telah mengancam kedudukanku sekarang di kantor, Aliya!”

Aku cukup tersentak mendengar jawabannya, mataku juga sedikit terbelalak. Kantor? Hanya karena masalah kantor? Masih sempat-sempatnya Danny memikirkan hal kantor dibandingkan dengan istrinya sendiri? Keterlaluan!

Aku tertawa kekeh sebelum menanggapi Danny. “Oh, jadi masalah kantor itu lebih penting daripada aku, istrimu, Danny? Sungguh, kau sangat keterlaluan!”

“Jelas! Urusan kantor juga sangat penting bagiku! Kalau aku dipecat, mau makan apa kita? Kita mau hidup dan tinggal di mana? Bagaimana dengan semua urusan pembayaran listrik dan semuanya? Dan asal kau tahu, laki-laki yang jadi selingkuhanmu itu juga sudah mempunyai istri! Dan kau tahu siapa istrinya itu? Istrinya adalah pemilik perusahaan kantorku, Aliya!”

“Harusnya kau yang perlu menyadari sesuatu!” aku membentak Danny. Emosiku benar-benar memuncak saat ini, aku tidak habis pikir dengan apa yang sudah Danny pikirkan. Seharusnya ia juga mengetahui suatu hal mengapa aku melakukan perselingkuhan itu!

Danny hanya mengernyit, ia tidak berkata apa-apa, wajahnya memberi isyarat padaku untuk melanjutkan kata-kataku.

“Harusnya kau bisa menyadari mengapa aku bisa melakukan hal bodoh itu! Selingkuh di belakangmu, harusnya kau bisa tahu mengapa aku melakukannya, atau tidak kau memikirkannya mengapa aku bisa melakukan semua itu. Tapi ternyata kau malah tidak peduli akan hal itu dan sibuk sendiri memikirkan urusan kantor, apa kau memang tidak peduli lagi dan tidak mencintaiku lagi, Danny?”

“Jangan berkata seperti itu, Aliya! Aku sangat peduli padamu, dan aku juga sangat mencintaimu! Tidakkah kau ingat kalau aku mati-matian mencari pekerjaan ini demi mendapatkan restu dari papamu? Demi mempersuntingmu dan hidup bersamamu!”

“Cukup! Tapi apa buktinya, Danny? Apa kau pernah berpikir, kalau aku berselingkuh itu karena ulahmu sendiri! Kau yang semakin hari semakin sibuk dengan urusan kantor, sampai-sampai kau lupa dengan istrimu sendiri! Juga anakmu ini! Apa kau pernah berpikir seperti itu? Tentu saja tidak! Kau sibuk dengan kantor, kau semakin melupakan kehadiranku juga anak kita! Apa kau juga pernah berpikir, kalau selama ini aku dan anak kita sangat merindukanmu, Danny. Merindukan tawamu juga candaan yang biasa kau berikan, terutama saat kau mengelus pertuku dan mengajak anak kita berbicara. Apa pernah terlintas dipikiranmu seperti itu? Kau sibuk dan terus saja sibuk. Hari sabtu dan minggu pun kau juga tidak punya waktu luang untukku…” belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Danny langsung memelukku.

Kini air mata yang sedari tadi kutahan di kantung mata, sekarang berebut keluar membasahi baju Danny. Betapa aku sangat merindukan pelukannya. Danny…

“Cukup, Aliya,” suara Danny kini terdengar lirih. “Maafkan aku. Kau benar, seharusnya aku berpikiran seperti itu. Tapi saat itu aku benar-benar dibalut emosi, karena aku takut sekali kalau aku akan kehilangmu, Aliya. Aku tidak ingin hal itu terjadi, aku sangat mencintaimu, benar-benar amat sangat mencintaimu, aku tidak ingin kehilangamu.”

Aku merasakan ada tetesan yang membasahi kepalaku, dan itu pasti air mata Danny. Kedua lenganku yang sedari tadi hanya terkulai mulai kugerakkan melingkari tubuhnya. “Kau tidak akan kehilanganku, Danny. Aku begitu mencintaimu, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkanmu? Juga sebaliknya. Aku tidak ingin kehilanganmu, Danny.”

Danny mengendurkan pelukannya. Ia meraih wajahku dengan kedua tangannya. Matanya menatap lembut mataku, sangat lembut dan dalam. Aku benar-benar merindukan Danny. Tatapan lembut matanya yang bisa membuat hatiku luluh mereda dan tak berdaya seperti saat ini. Juga sangat merindukan setiap kecupan lembut di bibir yang ia berikan.

Aku sangat merindukannya, karena sudah lama sekali aku tidak merasakannya. Aku sangat menikamatinya. Serasa waktu saat ini benar-benar berhenti. Dunia benar-benar milik berdua. Antara aku dan Danny.
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya