Twelfth Grade

Sudah lama sekali rasanya saya tidak posting di blog. Ternyata memang susah membagi waktu. Sekarang ini saya sudah menduduki bangku kelas dua belas, dan saya harus benar-benar fokus dalam belajar. Sebab itu, saya jadi agak kesulitan membagi waktu untuk posting.

Novel kelima yang sedang saya tulis juga agak tersendat di tengah jalan. Bukan hanya karena saya tidak punya waktu saja, tetapi juga karena kondisi laptop saya yang sedang mati total, dan itu terjadi sudah hampir sebulan ini, juga sebulan ini saya tidak menyentuh laptop sama sekali.

Yah, tapi saya akan tetap menyempatkan untuk posting cerpen atau draft lagi. Tapi, untuk sementara ini saya mengurangi aktivitas tersebut.
Read more...

Wanna Cry

Ingin menangis rasanya saat mengingat cerita itu...

Kemarin saya diceritakan oleh teman saya, sebut saja namanya F. Dia bercerita tentang seseorang yang saya... yaaa saya kagumi (mungkin lebih dari sekedar kagum) sebut saja namanya si I. F bercerita tentang I waktu di dalam bis saat perjalanan menuju Denpasar, Bali.

F bercerita ke saya. Bis mereka sedang bermain games. Games dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang duduk di deretan kiri dan kelompok yang duduk di deretan kanan. F duduk di deretan kanan, sedangkan I duduk di deretan kiri. Mereka menjadi lawan.


Read more...

A Choice


“Kau habis menangis, Mayra?

Aku menggeleng pelan. “Tidak, mataku baru saja—”

“Kelilipan?” potongnya cepat. “Alasan klise, Mayra!”

Kutarik senyum tipis, sangat tipis hampir tidak terlihat. “Sudahlah, Ray!”

“Jodi?” tanyanya membuatku terkejut demi mendengar pertanyaannya. Mengapa Ray tiba-tiba saja bisa menyebutkan nama laki-laki itu? Kulihat Ray menatap mataku penuh selidik. “Kau memikirkan Jodi bukan?” tanyanya lagi.

Read more...

Red Cover and Gold Ribbon

“Sekarang apa yang ingin kau lakukan? Kau tidak bisa membohongi perasaanmu sendiri, Mayra!” suara Nayla menyentakkan aku dari lamunan.

Aku mengangkat wajah dan menghela napas panjang. Sengaja aku mengajaknya bertemu di kafe karena aku tahu pastilah Nayla juga sudah mengetahui tentang hal ini, tentang pernikahan Jodi dan Ghina. Dan dugaanku tepat, Nayla juga menyembunyikannya dariku. Karena terus aku desak, akhirnya Nayla mengakui kalau ia memang sudah tahu lama mengenai Jodi yang akan menikahi Ghina. Lagi-lagi dadaku terasa sesak jika nama wanita itu disebut. Sesak karena emosi yang yang tak dapat digambarkan, dan tak dapat diukur tingkatan emosinya—begitu sesak.

Kualihkan lagi pandangan mataku pada sebuah undangan bercover merah dan berpitakan  kuning keemasan itu. Cantik sekali. Seharusnya nama wanita yang tertulis indah di atas sana adalah namaku, bukan nama wanita itu. Seharusnya yang menjadi pengantin wanitanya adalah aku. Yang sepantasnya hidup mendampinginya adalah aku. Dan semua segala hal tentang dirinya adalah aku yang pantas! Ah, mikir apa sih aku ini? Tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Memangnya aku siapanya? Aku sudah tidak ada hubungan lagi dengannya sekarang. Jadi tidak perlu aku seperti ini.

Read more...

Never Understand

Do you know how much pain this heart when I saw you with her? Do you ever think how I feel when you're laughing and joking together with her? I do not think so. You will never understand this feeling. You don't care about it. You just stay away and keep getting away from my life.

Why could you do such things? What have I done? Am I wrong if I had a feeling of love that is so profound to you? Am I wrong if I have that feeling?

Why can't you understand this feeling? Why did you just stay quiet? Why did you ignore that?
 
You are nothing more than cowards and men have no feelings at all!
Read more...
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya