A Choice


“Kau habis menangis, Mayra?

Aku menggeleng pelan. “Tidak, mataku baru saja—”

“Kelilipan?” potongnya cepat. “Alasan klise, Mayra!”

Kutarik senyum tipis, sangat tipis hampir tidak terlihat. “Sudahlah, Ray!”

“Jodi?” tanyanya membuatku terkejut demi mendengar pertanyaannya. Mengapa Ray tiba-tiba saja bisa menyebutkan nama laki-laki itu? Kulihat Ray menatap mataku penuh selidik. “Kau memikirkan Jodi bukan?” tanyanya lagi.

Kakiku terasa semakin lemas, hingga menjatuhkan tubuhku. Aku berlutut di hadapannya. Tatapannya terlihat nanar.

“Memang Jodi kan yang sedang mengganggu pikiranmu saat ini?” tanyanya dengan dihiasi bibirnya itu dengan senyuman pahit, terlihat sangat pahit.

How did you know?” tanyaku parau.

Ray tertawa kecil. Ia memutar roda kursi agar bisa lebih dekat denganku. Kedua tangannya meraih wajahku perlahan. “Santi, your asistent had told me,” jawabnya dengan nada yang tidak kalah parau dariku. “Look, Mayra… you have to be honest to yourself…”

Kini setitik air mata yang sudah kucoba susah payah untuk menahannya akhirnya terjatuh juga, mengalir secara lembut dan perlahan di pipiku. Ray segera menghapusnya dengan kedua tangannya itu secara lembut.

“Kau tidak bisa terus menerus membohongi perasaanmu sendiri seperti ini, Mayra. You just love him, not me!

Mataku terbelalak lebar mendengar Ray berbicara seperti itu. “Kau bicara apa sih, Ray?”

I knew, Jodi still the one for you, Mayra…

“Kenapa kau bisa berkata seperti itu? Aku tidak lagi mencintainya, Ray. Aku hanya mencintaimu!” kuraih wajahnya. “Look, I love you…” ucapanku terpotong saat tangannya meraih tanganku untuk lepas dari wajahnya.

What is it with you? Mau sampai kapan kau akan terus membohongi perasaanmu sendiri, Mayra? Mau sampai kapan?”

“Sudahlah, Ray. Lupakan saja!”

I don’t want to!

“Kenapa sih kau ini, Ray?”

“Ketika saat bersamaku, yang terlintas di pikiranmu pasti Jodi bukan? Jodi yang selalu hadir dalam pikiranmu di mana pun kau berada—”

“Ray!”

“Yang kau lihat hanya Jodi bukan? Apa kau kira selama ini aku tidak mengetahuinya? Aku selalu memperhatikan gerak-gerikmu, Mayra. Apa kau ingat pada saat kita jogging di taman? Aku tahu kenapa waktu itu langkhmu tiba-tiba terhenti, karena kau melihat Jodi bukan? Kau cemburu saat melihat Jodi bersama dengan wanita lain di sampingnya waktu itu—”

“Ray!!”

Let me continue… setiap aku berkata sesuatu padamu dan tiba-tiba kau diam, itu mengingatkanmu pada Jodi bukan? Lalu saat aku datang ke apartemenmu yang juga bertepatan Jodi berpamitan itu sebenarnya kau tidak ingin Jodi pergi begitu cepat bukan? Matamu berkata seperti itu, Mayra. Sangat terlihat jelas di sana… kau masih mencintainya!”Ow HoHHHhdejf

What the hell are you thinking, Ray? I’ve told  you, I love you, not him anymore!”

Aku mendengus kesal. Apa ia tidak sadar kalau dirinya berada di mana saat ini? Kenapa ia harus membahas masalah yang sangat tidak penting seperti itu? Seharusnya yang dipikirkannya saat ini ialah kesehatannya! Bukan mengurusi masalah yang bukan masalahnya.

Ray menarik senyum tipis. “Mau sampai kapan kau akan membohongi perasaanmu sendiri, Mayra? Aku tahu, kau masih sangat mencintainya. Kau mencintai Jodi. Bukan aku—”

Stop it, Ray!” sergahku cepat. Aku menghela napas berat, mencoba menenangkan pikiranku, mencoba untuk tidak membiarkan emosiku meludak di saat seperti ini. “Tidak usah lagi kau membahas masalah ini! Yang terpenting dan yang paling penting sekarang ini, kau harus sembuh, kau harus kembali sehat!”

“Hey, sudah berapa kali aku bilang padamu, Mayra? Hidupku—”

Don’t tell me!

Ray meraih tanganku dengan lembut, selembut tatapan matanya yang kini menjadi sayu. “Kalau memang benar kau mencintaiku, kembalilah padanya… sebelum semuanya terlambat.”

Is it not a choice, is it?”

Ray menggelengkan kepalanya. “It is. Itu sebuah pilihan yang harus kau lakukan, tunjukkan padaku kalau kau memang mencintaiku. Aku hanya ingin kau bahagia, walaupun—”

“Aku tidak akan melakukan semua itu, Ray. Aku akan selalu ada di sampingmu dan menemanimu di sini!”

Terdengar Ray menarik napas berat. “Mayra, please. Just show me if you really love me.

I can’t, Ray!

You can, Mayra. Just show me. I wanna see you happy, but not with me. You deserve him who might to be with you. It would be better that way, Mayra. Please… do that for me, for the rest of my life.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Ray begitu sangat tulus dan dalam. Tapi mendengar permintaanya tersebut hanya membuat hatiku terasa nyeri dan menyesakkan dadaku. Begitu besar dan tulusnya hati Ray yang mencintaiku. Apa aku juga seperti itu?

Tanpa sadar, air mataku kini perlahan terjatuh lagi. Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan sekarang, hanya bisa menangis. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya. Aku hanya bisa menangis dan terus menangis seperti ini.

Tangan Ray bergerak mengusap pipiku dengan lembut, bahkan sangat lembut. “Aku tidak pernah meminta sesuatu lebih darimu. Hanya satu yang kuminta… lakukanlah, Mayra. lakukanlah untukku!”

Kini air mataku benar-benar deras membanjiri pipiku.

Ray, betapa aku sangat beruntung dicintai dan disayangi oleh laki-laki sepertimu. Kau mempunyai hati yang sangat lembut dan tulus. Seharusnya kau bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku. Tapi, kenapa kau justru memilihku, Ray? Kenapa kau memilihku? Kenapa kita harus dipertemukan kalau akhirnya akan menjadi seperti ini?

This is insane!

Ya, Tuhan, sungguh aku tidak tahu rencana apa yang telah Engkau buat. Aku tidak mengerti. Mengapa semuanya jadi begitu sangat sulit sekali dimengerti?

Aku tertunduk dalam, aku tidak tahan lagi melihat mata Ray yang seperti itu. “Maafkan aku, Ray… aku tidak akan bisa melakukan itu. Yang kuinginkan hanyalah dirimu, aku hanya ingin terus berada di sampingmu, aku hanya ingin terus bersamamu…”

Kurasakan kini rambutku dibelai oleh tangannya. “You have to know… between mouth and heart are different. Probably mouth can say no, but heart can not.

Whatever, I still won’t do that!

Look at you, Mayra! Aku hanya akan membuatmu terus menangis seperti ini jika kau terus berada di sisiku. Aku tidak ingin melihatmu yang seperti ini. Aku hanya mengingikanmu dan melihatmu bahagia…”

But my happiness is you, Ray!

Please, Mayra. Understand me!

Ray, could you shut up and do not talk too much? It will makes me sad…

See, Mayra… I just can make you sad and cry like this…!

Stop it, Ray!” aku langsung memeluknya erat. “Aku hanya mencintaimu!” bisikku parau. Aku tak memikirkan lagi tangisku yang meludak dalam pelukannya. Mengeluarkan setiap titikan air mata yang terasa berat. Ya, aku mencintai Ray. Bisikku dalam hati, menambah setiap butiran-butiran air mata yang berteriak berebut ingin keluar. Tak kuasa aku menahannya, karena begitu berat, sangat berat, membuatku tak sanggup lagi mendengarnya berkata-kata.

Kurasakan kini tangannya membelai rambutku. Membuat dadaku terasa sesak. Ya Tuhan, mengapa laki-laki seperti Ray ini bisa mencintaiku? Tanyaku pada diriku sendiri yang masih tak mengerti.
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya