Red Cover and Gold Ribbon

“Sekarang apa yang ingin kau lakukan? Kau tidak bisa membohongi perasaanmu sendiri, Mayra!” suara Nayla menyentakkan aku dari lamunan.

Aku mengangkat wajah dan menghela napas panjang. Sengaja aku mengajaknya bertemu di kafe karena aku tahu pastilah Nayla juga sudah mengetahui tentang hal ini, tentang pernikahan Jodi dan Ghina. Dan dugaanku tepat, Nayla juga menyembunyikannya dariku. Karena terus aku desak, akhirnya Nayla mengakui kalau ia memang sudah tahu lama mengenai Jodi yang akan menikahi Ghina. Lagi-lagi dadaku terasa sesak jika nama wanita itu disebut. Sesak karena emosi yang yang tak dapat digambarkan, dan tak dapat diukur tingkatan emosinya—begitu sesak.

Kualihkan lagi pandangan mataku pada sebuah undangan bercover merah dan berpitakan  kuning keemasan itu. Cantik sekali. Seharusnya nama wanita yang tertulis indah di atas sana adalah namaku, bukan nama wanita itu. Seharusnya yang menjadi pengantin wanitanya adalah aku. Yang sepantasnya hidup mendampinginya adalah aku. Dan semua segala hal tentang dirinya adalah aku yang pantas! Ah, mikir apa sih aku ini? Tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Memangnya aku siapanya? Aku sudah tidak ada hubungan lagi dengannya sekarang. Jadi tidak perlu aku seperti ini.

“Memangnya aku harus melakukan apa lagi? Aku tidak punya hak untuk itu. Kalau memang dia bisa bahagia dengan wanita lain, mengapa tidak aku biarkan saja? Lagi pula, aku ini bukan siapa-siapanya lagi. Hubungan kami sudah lama berpisah, dan kau sudah tahu itu,” jawabku dengan tetap memaksa tersenyum kecil di bibir.

“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Kau ingin namanu yang tertulis di sana, bukan? Sudahlah, Mayra. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu lagi. Kau masih sangat mencintainya, dan sampai kapan pun kau akan tetap mencintainya.”

Aku tertawa kekeh mendapat tanggapan seperti itu dari Nayla. “Kenapa kau bisa berkata seperti itu? Yang merasakannya—”

Definitely your eyes!” sela Nayla cepat. “Perasaanmu pada Ray bukanlah perasaan cinta yang selama ini kau pikirkan, Mayra. Kau hanya tersugesti dengan pikiranmu sendiri, hanya karena kau ingin melupakan Jodi, dan mencoba untuk mencintai Ray. Atau bahkan, kau sebenarnya hanya bersimpati padanya, mengingat—”

“Lagi-lagi kau sok tahu!” aku memotong, aku tahu kata-kata apa yang selanjutnya akan keluar dari mulut Nayla itu. “Aku juga mencintainya!”

Ya, aku juga mencintai Ray. Bagaimanapun juga, laki-laki itu sudah mengisi hari-hariku saat aku sudah tidak bisa bersama dengan Jodi lagi, laki-laki yang sudah dengan tulus mencintaiku, dan juga laki-laki yang amat sangat baik. Ya aku juga tahu, aku sangat bersimpati mengingat penyakit yang diderita Ray. Tapi rasa simpatiku padanya itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan perasaan yang kusebut cinta ini.

You have to think consistently, Mayra!

“Sudahlah, tidak usah bahas masalah ini lagi. Toh, minggu depan ia akan menikah dengan Ghina. Aku tidak bisa dan memang tidak ada sesuatu yang bisa kulakukan lagi padanya. Just let him with another girl who can be the one for him and that girl is Ghina. She deserve him.”

Aku menghela napas panjang. Ya, memang wanita itu patut mendapatkannya. Ghina patut mendapatkan Jodi. Walaupun hubungan kami memang tidak baik, tapi aku akan selalu berdoa untuk kebahagian seseorang yang dulu pernah menjadi kekasihku. Aku akan selalu berdoa pada Tuhan agar Jodi bisa bahagia dengan jalan yang telah diambilnya.

“Mayra, Mayra,” decak Nayla. “Kau ini benar-benar bodoh! Persetan dengan semua orang yang mengatakan kalau dirinya akan bahagia kalau melihat seseorang yang dicintainya bahagia dengan orang lain. That’s definitely bullshit!

Nayla, could you shut up and don’t talk about it anymore?

All by means.

Dan Nayla pun diam tak berbicara lagi.

Mungkin memang benar dengan apa yang sudah dikatakan Nayla. Persetan dengan semua orang yang mengatakan kalau dirinya akan bahagia kalau melihat seseorang yang dicintainya bahagia dengan orang lain. Mungkin memang itu benar. Sejujurnya, dari lubuk hatiku ini, aku tidak bisa membiarkannya. Aku tidak rela. Aku tidak sanggup. Aku tidak sanggup untuk menerima semua ini, semua yang terjadi pada diriku.

Dan sekarang aku tahu. Mungkin dan memang sangat mungkin, inilah yang direncanakan Tuhan untukku sejak dulu.
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya