There Must Be Love


Sudah hampir setahun ini entah mengapa aku masih saja memikirkannya, memikirkan laki-laki itu, laki-laki yang seharusnya tak usah kupikirkan. Ia hanyalah sebuah sosok sepintas belaka, sosok pelengkap, sosok penghibur, sosok… entahlah, yang jelas dan dengan sangat jelas, aku tak pantas untuk memikirkannya, dan itu hanya akan membuang waktuku saja jika hanya terus memikirkannya.

“Kau memikirkannya lagi?”

Kuangkat wajahku, kutatapi wajah Joan di hadapanku sejenak, lalu kutarik tipis bibirku.

“Adam?”

Kuhela napas panjang saat Joan menyebutkan nama itu. “Never mind!” tanggapku.

Joan menggelengkan kepalanya. “Mau sampai kau akan seperti ini, Din? Kenapa kau tidak jujur saja dengan perasaanmu yang sebenarnya pada Adam? Mungkin setelah dia mengetahui perasaanmu, kau akan sedikit menjadi lebih lega.”

“Apa kau sudah gila? Memberitahu yang sebenarnya hanya akan bisa membuat usahaku untuk menjadi sahabatnya selama ini jadi hancur, Jo! Pakailah sedikit otakmu itu!”

“Tidak akan, Adina! Walaupun memang iya akan seperti itu, percayalah padaku kalau itu tidak akan bertahan lama!”

“Mau itu tidak bertahan lama, aku tetap tidak akan melakukannya, that’s perfectly insane!

 “Well… terserah kau saja. Kalau memang kau tidak mau melakukan itu, mengapa kau tidak mau mencoba untuk membuka mata dan hatimu untuk melihat masih banyak lelaki di luar sana! Kau cantik, memesona, laki-laki mana yang tidak akan jatuh hati padamu, Adina?”

“Joan… please, shut… up!

Joan mendengus kecil. Matanya menyipit menatapku heran, lalu kepalanya menggeleng. Kedua lengannya melipat di depan dadanya yang bidang itu.

“Lagi pula… Adam juga sudah mempunyai pilihan hatinya sendiri, bagaimana mungkin aku merusak hubungannya?”

Joan tidak langsung menanggapi perkataanku, ia menatapku dengan pandangan semakin heran. “You know what love is?” tanyanya lembut.

Aku bergumam lalu menggeleng.

Joan memajukan tubuhnya, mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku. “Cinta itu murni anugrah Tuhan, cinta itu gila, cinta itu datang dan pergi di waktu yang tidak akan pernah terduga, cinta itu saling memahami dan memberi, cinta itu…” Joan menggantung kalimatnya sejenak, ia menatapku semakin dalam, membuatku jengah ditatap seperti itu olehnya. Kunaikkan satu alisku, memberinya isyarat untuk melanjutkan kata-katanya yang tertunda. “Yah… dan cinta itu… cinta itu sulit dimengerti,” lajutnya.

Aku semakin heran dibuatnya. Mengapa cinta itu sulit dimengerti? Sedangkan sebelumnya ia berkata kalau cinta itu saling memahami dan memberi. Lalu, apa yang dimaksudnya dengan sulit dimengerti?

“Yah, memang… cinta itu memang sulit dimengerti,” lanjut Joan lagi.

What exactly you mean about love is hard to understand, Jo?” tanyaku penasaran.

You’ll understand soon,” jawabnya.

Aku mendengus kesal mendapat jawaban seperti itu darinya. “Kau membuatku bingung setengah mati, Jo!”

That’s your own business!”

“Jo…!!” aku menggeram kesal.

What?”

Never mind!” jawabku ketus.

Joan hanya mengangkat kedua bahunya.
---
“Dena, cepat! Hazel sudah menunggu!” aku berteriak dari bawah tangga. “Adena!” teriakku sekali lagi.

Beberapa saat kemudian, kudengar ketukan heels menuruni anak tangga, dan itu Dena. Ia sudah terlihat rapih dengan blus biru dan rok denim hitamnya.

“Hazel sudah menunggumu sedari tadi, kasihan dia!” kataku saat Dena sudah sampai pada anak tangga terakhir.

Dena hanya menyeringai kecil ke arahku, dan lalu langakah kakinya dipercepat hingga tubuhnya menghilang di balik pintu depan.

Baru saja kubalik tubuhku dan melangkah, sudah ada yang menyeru namaku dari belakang. Dan, aku kenal betul siapa pemilik suara itu.

“Dina!”

“Joan? Mau apa kau pagi-pagi sudah datang?”

Joan menyeringai, “Ingin menemanimu saja. Dena semalam meneleponku dan berkata kau sedang sakit dan tidak masuk kantor hari ini. Jadi, aku datang untuk menemanimu, karena kau pasti hanya sendiri di rumah.”

“Kau tidak perlu datang, itu hanya akan merepotkanmu saja, Jo!”

Joan menggeleng. “Tidak, sama sekali tidak merepotkanku, aku tulus datang ke sini untuk menemanimu, Adina!”

“Terima kasih kalau begitu, kau sungguh teman yang sangat baik dan perhatian sekali, Jo!”

“Te… man…?” Joan menaikkan satu alisnya. “Ah, ya, memang begitulah gunanya teman, bukan?”

Aku tersenyum lalu mengangguk.

“Kau mau minum apa?” tanyaku pada Joan yang sudah duduk di atas sofa ruang tengah.

“Hmm… apa saja,” jawabnya.

Kulangkahkan kakiku segera menuju dapur. Setelah beberapa saat kemudian aku kembali ke ruang tengah dengan nampan yang berisikan dua gelas syrup.

“Jadi, hari ini kau juga tidak masuk kantor?” tanyaku sembari meletakkan nampan ke atas meja.

Joan menyeringai. “Yep! Sudah kubilang kalau aku ingin menemanimu seharian!” jawabnya.

“Ah, maaf kalau aku memang benar-benar merepotkanmu, sampai-sampai kau tidak masuk kantor karena diriku.”

“Sudah kubilang, tidak sama sekali merepotkanku, aku melakukannya dengan tulus dan senang hati, Din. Oh, ya, memangnya kau sakit apa? Kalau kulihat-lihat… hmmm… sepertinya kau baik-baik saja.”

Kini giliranku yang menyeringai lebar di depan wajahnya. “Yaa… memang sebenarnya aku ini baik-baik saja. Hanya saja aku sedang malas untuk ke kantor.”

Kedua alis Joan berkerut heran, matanya menyipit, manatapku penuh selidik. Ia bergumam kecil, tak begitu jelas. “Adam?” tanyanya yang membuatku tersentak demi mendengarnya.

“Adam?” tanyaku balik dengan mata terbelalak.

Joan mengangguk.

“Apa maksudmu?” tanyaku lagi.

“Sudahlah! Kau pasti masih memikirkan laki-laki itu, bukan?”

“Tidak! Bukan karena dirinya!” bantahku.

“Lalu?” Joan memiringkan kepalanya.

“Joan! Jangan memulai lagi!!” kataku geram melihat ekspresinya yang seperti itu.

Oh, thanks God! Gumamku saat mendengar ponselku berdering nyaring. Tanpa ba-bi-bu lagi, segara kujawab panggilan masuk tersebut. “Ya?”

“Hey, semangat sekali kau menyapaku.”

Alisku berkerut. Suara ini… sepertinya aku sangat mengenal suara ini. “Adam?” tanyaku hati-hati.

“Ya, tentu saja! Memangnya siapa lagi kalau bukan aku?"

“Ah, maaf, kukira siapa. Ada apa, Dam?”

“Aku dan Fay ingin mengajakmu makan siang bersama siang ini. Bagaimana? Kau mau ikut bergabung?”

Makan siang… bersama… dengan… Fay?

“Hey, Dina!”

“Ah! Tentu saja! Dengan senang hati. Tapi, boleh aku mengajak Joan ikut bergabung?”

“Tentu saja, Din. Justru lebih baik jika kau mengajak Joan, kita bisa jadi double date lunch!” Adam tertawa kecil di seberang sana.

“Adam! Aku dan Joan tidak seperti yang kau pikirkan!” aku melirik Joan yang alisnya sudah naik ke atas satu, dan memandangiku penuh tanya. “Ah, sudah dulu ya, ada sesuatu yang harus kukerjakan, bye!

Klik.

“Adina…” mata Joan semakin menyipit.

Aku hanya nyengir kuda. “Kau tidak mau melihatku menjadi orang ketiga, bukan? Kau tahu sendiri orang ketiga yang berada di tengah-tengah itu—”

Well,” potong Joan, “okay!
---
Ah, rasanya hati ini terasa seperti tertusuk pisau tajam yang baru saja diasah, diasah oleh sang pemilik hati yang telah menemukan kekasih hatinya. Sungguh, terluka rasanya jika harus melihat orang yang dicintai ternyata mencintai orang lain. Hal tersulit dalam hidup adalah mencoba untuk merelakan dan mencoba untuk tersenyum dalam hati yang menangis.

Aku sedang merasakannya.

Act properly, please!” bisik Joan tepat di telingaku, membuatku tersentak.

Aku menarik senyum ke arah mereka—Adam dan Fay. “Apa kabarmu, Fay?” tanyaku pada Fay untuk berbasa-basi.

Fay tersenyum ramah lalu menjawab, “Baik, kau sendiri bagaimana, Din?”

Pretty good.

Ah, mungkin senyum itu yang telah membuat hati Adam meluluh tak tertahankan untuk melihatnya. Senyum manis dan ramah yang tertarik di bibirnya itu akan membuat lelaki untuk jatuh hati padanya, dan mengucapkan seribu sumpah serapah demi mendapatkannya.

“Kau mau pesan apa, Din?”

Aku tersentak kembali dari lamunanku saat kaki Joan di bawah meja menginjak pelan kakiku.

“Ah? Terserah kau saja, Jo!” jawabku terbata.

“Sudah kubilang, bukan? Bersikaplah sewajarnya! Aku benci melihatmu bersikap seperti itu!” bisik Joan.

Cukup tercengang saat aku mendengarnya berkata seperti itu. Tidak pernah kudengar Joan berbicara dengan geramnya dan kesal seperti tadi.

Aku mengangguk menurut.

“Umm… anyway, kudengar kau akan segera menyusul kakakmu, benar begitu, Dam?” tanya Joan pada Adam.

“Maksudmu?” tanya Adam balik.

“Yah, kau akan segara menikah, bukan?”

Aku terlonjak demi mendengar ucapan Joan yang seperti itu! Adam… akan segera menikah? Mengapa Adam tidak memberitahuku? Secepat itukah keputusannya untuk segera menikah dengan Fay?

Adam menyeringai kecil. Tangan kirinya melingkari bahu wanita di sebelahnya—Fay.

“Kau serius akan segara menikah dengan Fay, Dam?” tanyaku untuk lebih meyakinkan.

Adam tersenyum lagi lalu mengangguk. “Ya,” jawabnya singkat.

Dan saat ini, dengan sempurna mataku membelalak lebar. Kulirik sejenak sepasang bola mata di sampingku. Joan, menatapku dengan… ah, aku tidak mengerti maksud tatapannya itu. aku tak mau memikirkan untuk hal satu itu.

Dengan sendirinya, tubuhku bangkit dari kursi. “Maaf, aku baru ingat kalau ada keperluan mendadak di kantor,” ujarku segara beranjak pergi, tak sanggup lagi aku melihatnya.

Beberapa kali kudengar Joan memanggilku, tapi kuhiraukan panggilannya itu, sampai pada akhirnya aku merasakan lenganku dicengkram kuat oleh tangan besar di belakangku.

“Dina, please! Sudah kubilang berapa kali sih untuk tidak bersikap konyol seperti tadi?” Joan memutar tubuhku. “Dina…”

Aku menarik senyum tipis, kusingkirkan kedua tangan Joan di atas bahuku. “Kau sudah tahu rencana pernikahan itu sejak lama?”

Joan merunduk.

“Jo… benarkah begitu? Kau sudah lama mengetahuinya?”

Joan mengangkat wajahnya kembali. “Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu, Din, sungguh aku tidak bermaksud seperti itu.”

Kuseka air mata yang mentes perlahan di pelupuk mata segera dengan tanganku.

“Dina... masih banyak lelaki di luar sana yang masih—”

“Terima kasih, Jo, kau sudah menyembunyikan ini dariku,” ujarku lembut, kulangkahkan kakiku meninggalkan Joan. Baru beberapa kakiku melangkah, lagi-lagi Joan sudah mencengkram keras lengaku, membuatku meringis kesakitan. “Lepaskan, Jo!” bentakku, tapi Joan tidak mau melepaskannya, ia menatap mataku tajam, membuatku takut. “Jo… please, it's hurting me,” ujarku parau.

“Maaf,” katanya. Perlahan Joan melepaskan cengkramannya. Tatapannya kini melembut, tidak seperti sebelumnya. Tapi, ada yang beda dari tatapannya itu.
---
Joan memang benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya ia menyembunyikan sesuatu sepenting itu dariku! Sungguh, sulit dipercaya Joan telah dan tega melakukannya padaku.

Sejak saat itu, kami jadi tidak berhubungan lagi. Dan… rasanya aneh lama tak berhubungan seperti biasanya dengan Joan. Tidak ada lagi yang menggodaku, tidak ada lagi tempat aku mencurahkan segala isi kepalaku dan tidak ada lagi seseorang yang menemaniku saat aku sedang menyendiri di rumah. Sungguh aneh rasanya berada di situasi seperti ini. Entah siapa yang memulai untuk tidak menghubungi lebih dulu.
---
Waktu memang benar-benar begitu terasa cepatnya. Rencana pernikahan Adam dan Fay semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari.

Sejujurnya, aku sendiri masih tidak mengerti dengan perasaanku ini. Mengapa terkadang aku justru senang mengetahui Adam akan segera menikahi wanita itu? Tapi, mengapa terkadang aku juga merasa sesak?

Entahlah.

Kupandangi cermin di hadapanku sembari menempelkan kebaya putih yang akan dipakai oleh Fay lusa nanti. Kupandangi diriku dengan begitu seksama. Betapa pas dan cocoknya jika kebaya itu membalut tubuhku. Ah, mikir apa sih aku ini?

Aku tertawa kekeh.

Kudapati seseorang berdiri di belakangku dari pantulan kaca. Dan dia… Adam? Benarkah?

Aku menoleh untuk lebih meyakinkan… dan memang benar adanya kalau Adam yang sedang berdiri di belakangku.

“Kebaya putih itu memang sangat cocok sekali jika membalut tubuh indahmu, Adina.”

Aku tertawa kecil. “Benarkah?” tanyaku.

Adam mengangguk.

“Umm… boleh aku meminta sesuatu padamu?”

“Tentu saja!”

“Boleh aku memelukmu?”

Adam hanya diam, tanpa menunggu jawabannya, aku langsung memeluknya erat. Kurasakan hangat tubuhnya, bidang dadanya, dan harum yang khas melekat di jas hitamnya. Sulit sekali rasanya untuk melepas, biarlah ini menjadi pelukan terakhirku. Karena mungkin aku tidak akan pernah bisa merasakannya lagi jika dia memang benar-benar sudah menjadi milik orang lain.

“Biarlah pelukan ini menjadi pelukan perpisahan kau dan aku, Dam.”

“Adina…,” panggilnya lembut.

“Aku tidak akan melepaskannya sampai aku benar-benar merasa puas memelukmu!”

“Adina… tidak ada Adam di sini! Aku Joan!”

Joan?

Seketika tenggorokanku rasanya tercekat kuat.

JOAN??

Langsung kuangkat kepalaku. Dan… Joan!

Astaga! Apa yang sudah kupikirkan? Mengapa bisa tadi aku melihatnya sebagai Adam? Betapa bodohnya aku ini. Bisa-bisanya aku mengira kalau Joan adalah Adam!

Kurasakan kedua telapak tangan Joan meraih wajahku, lalu mengangkatnya. Dan saat itu mata kami bertemu dalam rasa getaran aneh yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Seakan melenyapkan perasaan kesalku padanya atas kejadian waktu lalu ia menyembunyikan tentang rencana pernikahan antara Adam dan Fay. Perasaan itu kini benar-benar lenyap ditelan oleh tatapan matanya yang sulit sekali dimengerti.

Apa ini?

Kini tatapannya sangat melembut, bahkan amat sangat lembut dan dalam. Aku semakin tidak mengerti arti tatapannya itu. Tatapannya seakan terasa seperti magnet yang menarik mataku kuat untuk tetap melekat pada matanya, sulit rasanya berpaling.

Tatapan lembut matanya itu seakan memantulkan sinar yang tidak pernah kudapatkan dari siapa pun, ada kehangatan di sana, ada kasih di sana, ada yang berbeda dari yang lainnya di sana.

Sangat di luar akal sehatku saat ini, tak pernah kurasakan tatapan seindah dan senyaman ini dari seseorang sebelumnya, tak pernah ada yang bisa menyentuh hatiku sedalam ini, termasuk Adam, lelaki yang sudah lama sangat kucintai. Tidak pernah kurasakan ini sebelumnya dari dirinya.

Aneh. Memang sangat aneh.

Saat kutelusuri lebih dalam lagi tatapannya, seakan aku melihat sinar lembut dan terang. Melebihi rasa kehangatan yang diberikannya juga rasa kasih yang dirasakan saat ini. Sinar itu berbeda dari yang lainnya. Satu titik yang sangat mencolok dan sangat nyata dan terang itu seakan benar-benar menjadi pusat perhatian dari sekian sinar-sinar lainnya.

There must be love!

Mungkinkah itu?

Apa benar begitu?

Entahlah.

“Kurelakan kau menganggapku sebagai dirinya, asalkan kau terus memelukku seperti ini.” Joan langsung melingkarkan kedua lengannya ke leherku, membuatku benar-benar tak berdaya di dalam pelukannya yang terasa hangat seperti ini.

Sungguh aku benar-benar tidak mengerti.
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya