May I Hug You?

“Kenapa kau mau begitu saja dijodohkan dengannya, Raina?” tanya papa.

Aku menarik senyum tipis. “Karena aku tahu, pilihan orang tua itu pasti benar, setidaknya sudah melihat dari segala aspek yang Mama dan Papa inginkan untuk menjadi pendamping hidupku nantinya,” jelasku.

Mama dan papa berbarengan mengernyitkan kening, menatapku penuh heran. “Benarkah?” tanya mama.

Aku mengangguk.

Papa menimpali, “Jadi… selama ini—selama hampir dua puluh lima tahun kau tidak pernah mempunyai kekasih itu karena… kau menunggu kami untuk menjodohkanmu?” mata papa menyipit.

Aku bergumam sejenak, dengan seringai kecil di bibir, aku menjawab, “Ya, begitulah.”

Mama terlihat lebih terperangah dari papa. “Oh ya? Raina… kau sedang tidak bercanda, kan?” mama menatapku penuh tanya dan penuh selidik, seakan benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja kujawab.

Aku menggeleng. “Sungguh, Ma, Pa, aku memang menunggu untuk dijodohkan oleh kalian, karena seperti apa yang sudah aku jelaskan sebelumnya.”

Lipatan di dahi mama dan papa semakin bertambah. Tapi perlahan, mama dan papa menarik senyum di bibir masing-masing, tatapan mereka kini berubah menjadi kebinaran akan kebahagian.

“Raina…” mama menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dan papa ikut melingkarkan kedua tangannya, mendekap aku dan mama ke dalam pelukannya.
---
Hari ini mama dan papa merencanakan pertemuanku dengan anak temanya yang ingin dijodohkan denganku.

Mama memilihkan aku blue dress unuk dipakai saat pertemuan, juga dengan black heels yang panjangnya mencapai dua belas sentimeter. Rambut panjangku sengaja digeraikan begitu saja, tetapi tetap dirapihkan.

“Silahkan masuk!” ujar wanita paruh baya yang masih terlihat muda untuk ukuran orang tua. Ah, pasti itu Tante Ferra. Pikirku.

“Oh, jadi kau Raina?” tanya Tante Ferra sembari duduk di atas sofa.

Aku tersenyum lalu menangguk. “Ya,” jawabku.

“Ah, sungguh cantik sekali! Terakhir Tante melihatmu waktu umurmu masih dua tahun. Ya… kira-kira dua puluh tiga tahun yang lalu, sudah lama sekali, ya?”

Aku hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum.

“Mana anakmu, Fer?” tanya mama tak sabaran ingin melihat anak lelakinya Tante Ferra.

“Ah, iya, sebentar, aku panggilkan dulu!” Tante Ferra bangkit dari sofa dan berlalu menuju lantai dua rumahnya.

“Nah, ini, Rain, anakku.”

Aku menengadah, menangkap sosok lelaki bertubuh tinggi dan berdada bidang mengenakan kemeja slim fit berwarna merah marun dengan kedua lengan kemeja yang dilipat sampai siku. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Wajahnya terlihat dingin, dan tak ada senyum di sana.

Aku tersenyum padanya. Tapi, ia justru memalingkan wajahnya.

“Rain, ini dia, Raina, anaknya Tante Inan.” Tante Ferra sedikit mendorong lengan anaknya.

“Raina,” kataku sembari tersenyum.

Ia bergumam, “Rain.” Ia tidak melihat ke arahku—aku tahu itu. Sangat terlihat jelas di wajahnya, terlihat jelas kalau ia tidak suka dengan pertemuan ini. Lebih tepatnya lagi, tidak suka dengan perjodohan ini.
---
Setelah pertemuan kali pertamanya itu, mama dan Tante Ferra selalu saja mencoba untuk mengatur jadwal pertemuan kami secara pribadi, well, hanya aku dan dia.

Setiap kali aku pergi dengannya, Rain selalu berjalan lebih dulu dariku atau di belakangku, ia selalu mencoba menjaga jarak, selalu mencoba untuk tidak melihat ke arahku, selalu mencoba memalingkan wajahnya, selalu mencoba tidak membuka mulut untuk berbicara, selalu mencoba untuk tidak berbuat apa-apa, dan itu sangat membuatku semakin kesal dengan sikapnya yang seperti itu!

Mengapa untuk mencoba tersenyum padaku saja sulit sekali untuknya? Seburuk apakah diriku hingga membuatnya berpikir kalau aku ini tidak pantas untuknya?

“Rain!” panggilku, ia berjalan lima langkah lebih jauh dariku, aku mencoba untuk mengejarnya with this damn high heels! Cukup sulit mengejar langkahnya yang cepat.

“Rain!” panggilku sekali lagi dengan suara lebih keras, dan… “Ah!” aku meringis kesakitan, tiba-tiba heels sebelah kananku patah tanpa meminta izin terlebih dahulu padaku, membuat tubuhku terjatuh ke atas lantai kotor parkiran. Kaki kananku berdenyut—nyeri.

Aku menengadah. Rain menghentikan langkahnya, sela beberapa detik, ia pun membalikkan tubuhnya dengan penuh keengganan. Ia hanya terpaku di sana, bersedekap tak peduli, wajahnya dipalingkan ke deretan mobil yang terparkir rapih. Sudah kuduga akan seperti itu sikapnya.

Bodoh! Bagaimana bisa aku berpikir ia akan datang menghampiriku lalu bertanya padaku, “apa kau baik-baik saja?” dan lalu ia membantuku berdiri. Itu adalah pikiran yang sangat bodoh untuk aku harapkan akan terjadi.

Aku menghela napas panjang. Kubebaskan kedua kakiku dari heels yang kukenakan. Aku mencoba untuk berdiri sendiri dan… “Aw!” kaki kananku terasa semakin nyeri dan semakin berdenyut. Aku meringis. Kuurut tumitku perlahan dengan ibu jari tanganku. Please, come to me, Rain, and help me out to stand! It’s really hurt! Aku hanya bisa berteriak dalam hati.

Rain masih bersedekap dan memalingkan wajahnya, ia benar-benar tidak peduli dengan keadaanku yang seperti sekarang ini. Sungguh, di mana letak rasa simpatinya itu? Mengapa ia hanya berdiri bersedekap dan memalingkan wajahnya seperti itu? Mengapa ia tidak mencoba untuk sekali ini saja melihat ke arahku dan membantuku?

“Rain…” panggilku parau, dan ia tidak menolehkan kepalanya. “Rain… bisakah untuk sekali ini saja kau melihatku? Menjawab panggilanku…? Dan… menolongku?” aku terkekeh. “Ah, bodoh sekali aku ini, bagimana mungkin bisa kau melakukan itu? Maaf, aku memang sudah berlebihan berharap padamu seperti itu.” Aku mencoba untuk membangkitkan tubuhku lagi secara perlahan, walaupun sempat hampir terjatuh lagi, kaki kiriku masih dapat sedikit menahan beban. Dan, sekarang aku dapat berdiri kembali.
---
“Apakah kau tahu sejarahnya mengapa nama kita bisa sama, yang berbeda hanya huruf a saja? Rain… Raina…? Juga sampai akhirnya orang tuaku dan orang tuamu berencana untuk menjodohkan kita?”

Rain bergumam tak jelas. Matanya menerawang jauh ke luar kaca jendela.

“Karena kita lahir sama-sama di saat hujan datang… hujan—rain…” aku terkekeh, lalu melanjutkan lagi, “Tanggal, bulan dan tahun lahir kita sama, rumah sakit juga sama… dan itulah yang membuat pertemuan antara orang tuaku dan juga orang tuamu, sampai pada akhirnya mereka membuat kesepakatan untuk menjodohkan anak-anak mereka saat setelah tumbuh dewasa nanti. Hingga umur mereka menginjak pada usia dua puluh lima tahun, di mana usia yang sudah cukup matang untuk membangun sebuah rumah tangga… mereka berpikir, kalau untuk mengenal masing –masing di antara kita tidaklah memerlukan waktu yang cukup lama, karena yang terpenting bagi mereka adalah rencana pernikahan nanti akan berjalan dengan lancar dan juga sempurna.” Aku terkekeh lagi.

Rain masih menerawang jauh ke luar kaca jendela. Ia bersedekap, seakan tak peduli dengan apa yang baru saja kuceritakan padanya. Aku mendesah pelan.

Tidak ada gunanya juga aku bercerita seperti tadi, toh, pastilah Rain juga telah mengetahui tentang hal itu, orang tuanya pasti sudah menceritakan padanya. Aku memang bodoh. Untuk apa aku terus-terusan menarik perhatiannya? Menarik perhatiannya untuk dapat melihatku, berbicara denganku? Perilaku bodoh dan konyol!
---
“Sudah berapa kali sih, Ma, aku bilang? Aku tidak menginginkan perjodohan ini!”

“Apa kau sudah gila? Apa kau tidak ingat pesan almarhum papamu untuk selalu menuruti kemauan Mama?!”

“Tapi—”

“Sudahlah, Rain, jangan membantah lagi! Memang apa yang kurang dari Raina? Dia wanita yang sangat cantik, baik, ramah juga pintar!”

“Ma—”

“Mama tidak ingin lagi mendengar kau memperlakukan Raina seperti itu, Rain! Itu cukup membuat Mama malu di hadapan Tante Inan!”

BRAK!!

Kurang lebih seperti itulah yang kudengar dari pertengkaran Rain dengan Tante Ferra di atas. Aku duduk di ruang keluarga, jadi aku masih cukup jelas mendengar pertengakaran mereka.

Terdengar suara ketukan sepatu menuruni anak tangga, aku menoleh dan kudapati Rain berjalan menuju pintu depan, dengan cepat aku beranjak dari sofa dan mengejar Rain. Kulihat Rain sudah duduk di balik kemudi, mesin mobil telah menyala, tapi ia belum menjalankannya. Aku mendekati mobil dan masuk lalu duduk di sebelah Rain.

Dengan lincah kaki dan tangan Rain bekerja, mobilnya sudah melesat keluar meninggalkan rumahnya.

Ya Tuhan, tidak seharusnya aku memberitahu Tante Ferra tentang kejadian itu. Kalau saja aku tidak beri tahu, pastilah Tante Ferra dan Rain tidak akan bertengkar seperti tadi.
---
“Rain… aku benar-benar minta maaf, aku tidak bemaksud untuk memberitahu Tante Ferra tentang kejadian itu. Kalau saja Tante Ferra tidak bersi keras ingin tahu tentang memar di kaki-ku ini, aku juga tidak akan menjawab seperti itu,” jelasku, mencoba untuk tetap menatap matanya, tapi tetap saja kedua bola matanya itu tidak mau berputar untuk melihat kedua bola mataku.

“Baiklah kalau kau memang benar-benar tidak mau memaafkanku,” lanjutku.

Aku menyesap coffee late yang baru saja datang.

“Mau coba?” tanyaku pada Rain yang sedang mengaduk-aduk cangkir di hadapannya dengan sendok kecil.

“Kau lapar tidak? Mau pesan makan sekalian? Sejak pagi tadi kau belum makan.” Aku berusaha untuk bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Dan, lagi-lagi dan terus lagi-lagi aku diperlakukan seperti ini.

Huh! Aku ini memang benar-benar bodoh telah bersikap seperti itu. Bersikap biasa saja seolah tidak ada sesuatu hal yang mengganjal di antara aku dengannya itu adalah hal yang sangat bodoh. Mencoba tetap tersenyum ceria di hadapannya, walau sebenarnya rasanya ingin sekali aku meneteskan air mata yang sudah tertampung lama di kantung mata saat ini juga di hadapannya.

“Rain…” panggilku parau, tak sanggup lagi aku harus menahan ini semua, menahan air mata yang sedari tadi terus berteriak ingin keluar dari dalam penjara kantung mataku yang kian membengkak.

Aku meraih kedua tangannya, tapi dengan cepat Rain menarik kedua tangannya itu. “Rain… bisakah sekali ini saja kau melihat mataku?” aku mencoba untuk mearih wajahnya dengan kedua tangaku, tapi lagi-lagi ia langsung menarik diri. “Please, Rain… just look at me!” Dan setetes air mata sudah jatuh membasahi pipiku, suaraku sudah bergetar, tapi tetap saja Rain tidak mengalihkan perhatiannya padaku.

“Aku tahu… aku tahu, aku tidak pantas untukmu… tapi seburuk apakah diriku sampai membuatmu terkesan tidak suka padaku? Menapa kau tidak pernah mau melihatku?  Mengapa kau tidak pernah mau berbicara padaku atau tersenyum padaku? Menapa kau selalu menjaga jarak dariku? Mengapa, Rain…? Kalau saja aku tidak menerima perjodohan ini, mungkin kita memang tidak akan pernah dipertemukan, dan aku tidak akan pernah membuatmu bersikap seperti ini…” aku menengadah, mencoba untuk menahan butiran air mata yang kian derasnya keluar tidak semakin deras lagi. “Seharusnya… seharusnya aku menyadari… kalau… kalau aku…” usahaku sia-sia, kini kedua pipiku benar-benar deras dibanjiri oleh air mataku.

“Kalau memang kau benar-benar tidak menginginkan perjodohan ini… aku… aku akan membicarakannya pada kedua orang tuaku untuk membatalkannya, tapi…” aku berhenti sejenak, menyeka air mataku dengan tanganku. “Rain… bolehkah aku berkata jujur padamu?” tanyaku, dan kali ini ia berbaik hati untuk mengalihkan perhatiannya padaku, memandang wajahku, membuat tetesan air mata ini mereda. Aku tersenyum tipis. “Aku… aku mencintaimu.”
---
“Ma, Pa… aku berubah pikiran,” kataku mencoba untuk tersenyum di hadapan mereka yang sedang bersantai di ruang keluarga.

“Raina? Ada apa dengan matamu?” tanya mama yang langsung beranjak menghampiriku. “Ada apa, Sayang? Berubah pikiran tentang apa?”

“Tentang perjodohanku dengan Rain,” jawabku.

Kedua alis mama bertaut, memandangiku penuh tanya.

“Perjodohanmu?” tanya papa sembari berjalan menghampiri aku dan mama.

Aku mengangguk. “Ya. Aku rasa, perjodohan ini lebih baik dibatalkan saja.”

Kedua mata mama membelalak lebar. “Dibatalkan?!”

“Kenapa?” timpal papa.

“Kenapa dibatalkan, Raina?” tanya mama lagi.

“Ada apa?” lanjut papa.

“Entahlah, memang sepertinya tidak bisa lagi dilanjutkan,” jawabku sebiasa mungkin.

“Tapi pasti ada alasan di balik semua itu, Raina,” ujar mama.

“Ya, benar kata Mamamu, pasti ada alasannya. Apa itu, Nak?”

Aku menghela napas berat. “Karena… karena aku tidak akan bisa menjalani hidup bersama seseorang yang tidak mencintaiku.” Aku menarik senyum pahit, sepahit sebuah perasaan yang tak terbalaskan di hatiku.

Mama dan papa cukup tercengang mendengar jawabanku seperti itu, tapi tidak lama kemudian, mereka langsung memelukku.
---
Cinta yang tidak terbalaskan itu memang menyakitkan, tapi akan lebih menyakitkan lagi kalau kita hidup bersama seseorang yang tidak mencitai kita. Aku beruntung karena aku belum terlalu jauh melangkah sampai pada tahap itu. Tapi, aku selalu mencoba untuk menguatkan diri dan hatiku sendiri untuk menerima kenyataan yang ada.

“Kenapa malah melamun seperti itu, Raina?”

“Ah? Tidak apa-apa, Jen,” jawabku.

“Jadi pergi sekarang?” tanya Jenny seraya melirik jam tangannya yang melingkar di pergelangan
tangannya.

Aku mengangguk. “Ya.” Aku segera beranjak dari tempat duduk, tapi seketika tubuhku tertahan oleh sesuatu, sesuatu yang sangat tak mengizinkan tubuhku untuk bergerak sedikit pun, merasakan setiap guncangan yang ada di dada—tak tertahankan.

Dan seketika itu juga, mata kami bertemu di udara berbalut rasa rindu yang seakan lama tak jumpa. Tatapan itu…! Ah, pasti aku hanya salah lihat. Ia tidak akan mungkin merindukanku. Tentu saja, karena ia tidak mencintaiku. Aku tetap mencoba menarik senyum kecil.

Setelah beberapa saat kemudian aku tersadar pada apa yang sudah salah dengan penglihatanku. Segera kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat. Saat kami berhadapan cukup dekat ketika aku menuju pintu keluar, aku melayangkan senyum lagi, dan setelah itu, bayangan wajahnya menghilang cepat.

Aku menghembuskan napas kecil. Ada sedikit kekecewaan di balik kerinduaan yang ada saat melihat wajahnya lagi. Tapi, rasa kekecewaan itu seakan lenyap termakan habis oleh rasa rindu yang menyelimuti hati.

Langkahku terhenti saat aku merasakan sebuah tangan besar menyambar lenganku.

“Raina…”

Entah mengapa, rasanya jantungku berhenti berdetak mendengar namaku dipanggil lembut oleh seseorang di belakangku. Aku tidak memutar tubuhku untuk melihat siapa orang itu, karena aku takut akan harapanku tidak terwujud.

“Raina…” panggilnya lagi.

Aku memejamkan mataku. Kedua tangannya diletakkan dibahuku dan lalu memutar tubuhku.

Hey, open your eyes, Raina!

Aku menggeleng cepat.

Just open it, okay?” suaranya terdengar ramah dan lembut. Dan… aku mengenal suara itu.

Kurasakan kedua pipiku diraih lembut oleh kedua tangannya itu. Membuat jantungku semakin ingin berhenti untuk berdetak. Perlahan kubuka mataku untuk melihat siapa yang saat ini berada di hadapanku. Dan…

Ia menyunggingkan senyum manis di bibirnya, senyum yang tidak pernah kulihat, senyum hangat yang tidak pernah kurasakan, senyum tulus yang tidak pernah kuterima dan tatapan lembutnya yang membuatku tak berdaya untuk yang kedua kalinya.

“Hey!” sapanya lagi.

“H-h-hey!” balasku.

“Boleh aku meminta sesuatu?”

“Hah?”

May I hug you?

“Hah?”

May I?

Aku hanya bisa terpaku saat tubuhku langsung ditarik olehnya, saat kedua lengannya melingkar erat di bahu dan leherku, saat merasakan dadanya yang bidang dan saat segala sesuatu di dirinya menyentuh diriku.

Lemas.

“Aku… aku merindukanmu, Raina…”

Merindukanku?

Aku bisa merasakan degup jantungnya yang begitu cepat. Tapi… degupan jantung itu miliknya atau milikku?

“Amat sangat merindukanmu!”

Amat sangat?

“Rain…”

Rain mulai merenggangkan pelukannya. “Ya?”

Aku mengerjapkan mata. “Kau? Merindukanku?”

Rain mengangguk.

“Kau pasti sedang bergurau!”

Rain menggeleng cepat. “No! Aku sama sekali tidak sedang bergurau, Raina! Aku sungguh-sungguh merindukanmu!”

“Tapi… tapi bukankah selama ini kau selalu—”

“Mengacuhkanmu?”

Aku mengangguk pelan.

“Yah, memang, itu dulu! Tapi sekarang, aku telah menyadari kalau sebenarnya aku menginginkan perjodohan itu. Saat pertemuan terakhir kita waktu itu, dan saat kau mengatakan kalau kau mencintaiku dan juga ditambah saat aku melihatmu menangis… entah mengapa, rasanya pintu hatiku benar-benar terketuk dan terbuka, dan aku mendapat rangsangan yang berbeda jika setiap mengingat kata-katamu dan juga wajahmu.”

“Hah?”

“Yah, sekarang aku telah menyadari kalau ternyata aku juga mencintaimu, dan aku ingin bisa menjalani hidup bersama dengan seseorang yang kucintai, bersama denganmu, Raina.”

“Hah?”

“Dan rasanya, perasaanmu belum berubah padaku, karena saat bertemu tadi, kau masih sempat tersenyum padaku, dan aku dapat melihat dari matamu kalau kau juga sangat merindukanku.”

“Hah?”

“Kenapa sih kau ber-hah-hah terus? Ada yang salah?”

Aku menggeleng cepat. “Tidak.” Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung melingkarkan kedua lenganku di lehernya. “Dan… ya, aku masih amat sangat mencintaimu, Rain,” bisikku tepat di telinganya. Kurasakan kedua lengan Rain melingkar di tubuhku.

Kini perasaan itu telah terbalas, dan aku siap untuk menjalani hidupku selanjutnya dengan dirinya, dengan seseorang yang sangat kucintai dan  juga mencintaiku.
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya