Wingko, Mommy!

“Ah, Jenny! Terima kasih banyak karena kau sudah mau membantuku untuk merencanakan ini semua,” ujar Rain sembari merangkul Raina.

Aku hanya membalas dengan tersenyum.

“Membantumu?” tanya Raina yang tampak tidak mengerti.

Raina mengangguk, lalu bibirnya dihiasi seringai kecil. “Ya, begitulah. Sebenarnya, aku di sini dan kita bertemu itu sudah direncanakan oleh Jenny. Jenny bilang kalau kau selalu murung sejak terakhir kita bertemu, kau selalu saja tidak fokus dengan pekerjaanmu—”

“Jenny?” potong Raina cepat, ia memandangiku penuh selidik.

“Ya, aku memberitahukan tentang kondisimu akhir-akhir ini pada Rain, dan aku bilang padanya kalau kau pastilah sangat merindukan Rain, dan Rain pun juga begitu, saat aku berkata padanya seperti itu, Rain menjawab kalau ia juga sangat merindukanmu,” jelasku.

“Kau terlalu berbelit!” Raina kembali mengalihkan perhatiannya pada Rain, lalu ia menggeleng.

Rain langsung menarik tubuh Raina ke dalam pelukannya kembali. Pelukan yang sangat tulus dan hangat itu mengingatkanku pada seseorang yang… ah, mikir apa sih aku ini?

“Rain, Raina, maaf aku harus segera pergi, karena aku harus menjemput Gerry di bandara.”

“Salam untuk Gerry, Jen!” ujar Raina.

Aku mengangguk tersenyum dan lalu langsung melangkahkan kakiku memasuki mobil.
---
Pesawat sudah tiba dari setengah jam yang lalu, tapi, sampai sekarang aku belum juga mendapati batang hidung Gerry. Mengapa sampai lama sekali keluar? Bawaannya tidak banyak, hanya membawa satu tas dan ia tidak menaruh apa pun di bagasi, jadi tidak perlu lama menunggu.

“Jenny!”

Aku langsung membalikkan tubuhku mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. Ah, itu dia, Gerry!

“Hey, kau—“

“Jen, bisakah kau cepat mengantarkanku kembali ke kantor? Karena mendadak ada meeting dengan para staff.”

Aku bergeming. Langsung kembali ke kantor? Tidak ingin kembali ke rumah lebih dulu untuk beristirahat sejenak? Aku mendesah. “Baiklah,” jawabku.
---
“Jen, kau tidak perlu menungguku pulang, karena sepertinya aku akan sampai larut malam. Kau tidak perlu khawatir, aku bawa kunci,” ujar Gerry sebelum menuruni mobil.

“Gerry!” aku menarik cepat lengannya.

“Ada apa lagi? Aku sedang terburu-buru, Jen!”

“Bolehkah aku—”

Ucapanku terpotong saat ponsel Gerry berdering. “Ah, maaf, Jen! Aku benar-benar harus masuk sekarang, meeting sudah dimulai.” Dan Gerry pun langsung menghilang dari hadapanku.

Aku menghela napas berat. Bolehkah aku menciummu sejenak sebelum kau pergi? Tapi, tidak sempat kuucapkan kata-kata itu. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sampai-sampai aku dinomorduakan olehnya, sampai-sampai sudah tidak pernah ada lagi waktu untukku bisa berdua dan menghabiskan malam bersamanya.

Kapan terakhir kalinya aku menghabiskan malam dengannya? Kapan terakhir kalinya ia menciumku? Kapan terakhir kalinya ia mengucapkan kata-kata manis? Entahlah, aku tidak mengingatnya, karena itu pasti sudah sangat lama sekali.

Aku kembali menjalankan mobil, meninggalkan pelataran parkir kantor Gerry.
---
Entah mengapa, akhir-akhir ini aku merasa tubuhku kurang sehat, merasa malas sekali untuk berkativitas, dan juga akhir-akhir ini entah mengapa aku jadi sering pusing. Aku sudah minum obat dan vitamin untuk menghilangkan rasa pusing, tapi tetap saja rasa pusing itu tidak pernah mau pergi dari kepalaku. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.

Raina menemaniku, karena aku tidak sanggup kalau aku harus mengemudi saat ini.

“Memangnya Gerry ke mana, Jen?’ tanya Raina di balik kemudinya.

Gerry? Ke mana? Entahlah, ia sudah pergi sejak pagi-pagi buta tadi dengan alasan harus pergi kembali ke Singapura untuk mengurus sesuatu dengan para investor baru dari sana. Dan aku hanya mengiyakan dan tidak banyak bertanya lebih jauh lagi, karena memang Gerry tidak memberiku kesempatan untuk berbicara.

“Gerry harus kembali ke Singapura,” jawabku dengan pandangan yang tetap lurus ke depan.

Raina sempat menoleh ke arahku, aku dapat menangkapnya dari sudut mataku. “Lagi?” tanyanya.

Aku mengangguk dan tersenyum kecil.
---
“Kandungan Anda sehat-sehat saja,” ujar dokter yang langsung membuatku terperangah demi mendengarnya. Kandungan?

“Ka… kan… kandungan, Dok?” tanyaku gagap.

Dokter mengangguk sembari tersenyum.

“Jenny!” Raina histeris. “Really? Are you getting pregnant?” tanya Raina dengan shock-nya.

Aku hanya menanggapi dengan mengangkat kedua bahuku. Kualihkan pandanganku kembali pada dokter yang tersenyum memandangiku. “Saya… hamil?” tanyaku lagi untuk lebih meyakinkan.

Dokter itu kembali menganggukkan kepalanya. “Ya,” jawabnya. “Memangnya Anda tidak menyadari kalau Anda sudah telat datang menstruasi empat minggu? Apa Anda juga tidak menyadari kalau gejala-gejala yang Anda rasakan selama ini karena kehamilan Anda?”

Aku menggeleng. “Saya tidak menyadarinya, Dok. Saya kira, pusing dan mual yang selama ini saya rasakan memang karena saya sedang sakit, dan juga rasa keinginan yang aneh-aneh hanya karena memang saya lapar mata saja.”

“Oh, come on, Jenny! Masa kau tidak menyadarinya selama ini?” timpal Raina.

“Aku memang tidak sadar, Raina,” sahutku.

“Tadi Dokter bilang kalau saya sudah telat menstruasi empat minggu, itu berarti kalau usia kandungan saya sudah mau memasuki bulan kedua?” tanyaku pada dokter.

“Ya,” jawabnya, “benar sekali. Saat ini kandungan Anda memasuki bulan kedua.”

You’re a mommy wannabe, Jenny!” lagi-lagi Raina histeris.
---
Getting pregnant? Sungguh… entah apa yang sedang bergulat di pikiranku saat ini. Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang kurasakan. Senang? Gembira? Sedih? Entahlah, aku tidak tahu. karena saat ini, aku benar-benar ingin Gerry segera kembali, dan setelah itu aku akan memberitahukannya tentang kehamilanku. Mungkin, setelah aku memberitahukannya, aku dapat mengerti perasaan apa yang sedang kurasakan sekarang ini.

Aku duduk di atas sofa ruang tengah. Menatapi layar televisi dengan tatapan kosong. Kulirik jam yang menenpel di dinding. Pukul 10.45 malam. Gerry belum pulang juga. Apa ia lembur…? Lagi? Aku mendesah. Kapan lelaki itu bisa pulang lebih cepat? Kapan lelaki itu bisa di rumah lebih lama? Kapan aku bisa berbincang-bincang lagi dengannya?

Entahlah.

Aku melirik jam dinding lagi, dan sekarang jam menunjukkan pukul 11.10 malam. Aku menghela napas panjang. Gerry masih juga belum kembali.

Hampir saja aku terjaga dalam tidurku, aku mendengar pintu rumah diketuk seseorang di luar sana. Ah, pasti itu Gerry!

Aku beranjak dari sofa dan segera menghampiri pintu.

“Jenny!” sapa Gerry yang langsung menghamburkan tubuhnya memelukku erat. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya terlihat begitu sangat bahagia di malam ini. “Ah, Jenny!” gumam Gerry.

“Ada apa, Ger?” tanyaku penasaran.

Gerry melepas pelukannya. Matanya menatap mataku penuh binar. “Kau tahu?” tanyanya, aku menggeleng. “Aku berhasil memenangkan tender, Jen!” dan kini suaranya benar-benar terdengar sangat histeris bahagia. Ia memelukku lagi, dan lebih erat.

Kulingkarkan kedua lenganku di tubuhnya dan lalu berbisik, “Aku ikut senang.”
---
“Pergi…? Lagi?” aku terperangah saat melihat Gerry sudah rapih dengan tuxedo-nya dan sedang sibuk memasukkan kakinya ke dalam sepatu Hush Puppies hitamnya.

Gerry berhenti sejenak, kepalanya menengadah. “Mau bagaimana lagi, Jen?” dan ia kembali memasukkan kakinya ke dalam sepatu.

“Ke mana?”

“Bangkok,” jawabnya datar.

Mataku membelalak lebar. “Bangkok?”

Dan Gerry hanya menanggapi dengan menganggukkan kepalanya.

“Kenapa selalu dadakan seperti itu, sih? Kenapa tidak memberitahuku dari semalam?”

Come on, Jenny! Bangkok dan Jakarta tidaklah jauh!”

“Tapi tetap saja—”

“Sudahlah, Jen! Aku sedang buru-buru!”

“Tapi… tapi saat ini aku dan anak kita sangat menginginkanmu!”

Gerry meghentikan langkahnya sebelum ia sempat menarik kenop pintu. Perlahan ia membalikkan tubuhnya. Matanya menyipit penuh selidik. “Anak… kita?” tanyanya.

Aku menghela napas berat lalu mengangguk. “Ya… anak kita,” jawabku sambil mengelus perutku yang terlihat sedikit membuncit.

Dan kini Gerry yang menghela napas berat. Ia berjalan mendekatiku dan lalu kedua lengannya melingkari tubuhku. Beberapa saat kemudian ia melepas pelukannya, mengelus perutku dengan lembut, lalu mengecup keningku cukup lama.

“Aku harus pergi, pesawat take off jam delapan,” katanya, membuatku semakin terperangah.

“Ger—”

“Maaf, Jen. Aku harus segera pergi.”

“Tapi—” belum sempat kulanjutkan lagi kata-kataku, kakinya sudah melangkah jauh meninggalkan rumah. Tubuhku langusng terasa lemas melihat kepergiannya itu. Lagi… lagi… lagi dan lagi ia pergi begitu saja.

Aku benar-benar tidak bisa habis pikir dengan pikirannya itu. Sudah tahu istrinya sedang mengandung anaknya, tapi ia hanya menanggapi seperti itu? Hanya memeluk saja? Mengelus perutku saja? Mengecup keningku saja? Dan… tetap pergi begitu saja?

Goodness! Mengapa ia tidak mencoba untuk membatalkan pertemuannya dengan klien di sana? Mengapa masih saja tetap memilih untuk pergi? Mengapa tidak terpikir olehnya untuk menemani istrinya yang sedang hamil sepanjang hari? Mengapa tidak terpikir olehnya untuk menemaniku pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari? Mengapa ia membiarkanku sendiri?

Mengapa, Gerry? Mengapa kau seperti itu? Mengapa?!
---
“Pergi lagi, Mba?” tanya Dena, asistenku yang masih sangat muda untuk ukuran seorang  asisten itu.

Aku mendesah pelan. “Ya, dia harus bertemu dengan klien barunya.”

“Tapi, mengapa harus di Bangkok? Mengapa tidak kliennya saja yang datang ke Jakarta?”

Aku mengangkat kedua bahuku. “Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu.”

“Tapi, apakah Mas Gerry sudah mengetahui kalau Mba Jenny sedang hamil?” tanya Dena lagi.

Aku mengangguk.

“Lalu…? Jangan katakan kalau Mas Gerry tetap pergi begitu saja?!”

“Yah, mau bagimana lagi, Den?”

“Astaga! Mas Gerry benar-benar keterlaluan, Mba Jen!” Dena menghempaskan tubuhnya ke atas sofa ruanganku. Ia menatapku dengan tatapan penuh tak percaya. Keningnya berkerut. “Lalu, mengapa Mba Jen diam saja?”

“Sudah kukatakan, kan? Mau bagaimana lagi?”

“Mba Jen, Mba Jen,” decak Dena. Ia bangkit dari sofa dan lalu berjalan mendekati kursi depan meja kerjaku.

“Mengapa Mba Jen tidak mencegahnya?”

“Sudah kulakukan, Den, tapi tetap saja Gerry memilih untuk pergi.”

Dena menggelengkan lagi kepalanya. “Benar-benar tidak habis dipikir!” decaknya lagi.

Ya, memang, amat sangat sulit untuk dipercaya. Aku saja sampai sekarang masih tidak mengerti apa yang sudah terlintas di otak lelaki itu. Dan memang, tidak hanya aku saja yang berpikir seperti itu, tapi juga Dena, asistenku, dan Raina, sahabatku.

“Um… Mba Jen?”

“Ya?”

“Boleh pertengahan bulan nanti aku cuti selama dua minggu?” tanya Dena ragu.

Kedua alisku bertaut. “Cuti dua minggu?” tanyaku, Dena mengangguk. “Memangnya mau ke mana selama dua minggu?”

Dena tersenyum malu. “Hazel mengajakku pergi ke…” Dena menggantung kalimatnya sejenak. Aku sedikit memiringkan kepalaku untuk menunggu Dena melanjutkannya. “Ke… Bercelona.”

WHAT?!” aku benar-benar terlonjak kaget saat Dena menyebutkan hendak pergi ke mana dengan kekasihnya si Hazel itu. “Barcelona?” tanyaku tak yakin.

Dena mengangguk.

“Mau apa?”

“Hanya ingin berlibur saja.”

“Berlibur ke Barcelona? Benar-benar gila!”

Dena terkekeh melihat ekspresiku yang seakan tak percaya dengannya. “Begitulah,” katanya yang lalu berlalu dari hadapanku.
---
Jari telunjuk Raina memutar bibir gelas di hadapannya. “Kapan dia kembali ke Jakarta?” tanyanya.

“Hari ini, jam tujuh malam,” jawabku seraya menyesap Lemon Tea pesananku.

“Apa kau yang akan menjemputnya?” tanya Raina lagi.

Aku menggeleng. “Tidak, dia bilang, dia ingin pulang dengan taksi saja, karena katanya takut ada panggilan mendadak lagi dari kantornya.”

“Oh, begitu. Memang sepertinya kau harus lebih banyak bersabar lagi menghadapi suamimu yang tiba-tiba berubah sangat drastis seperti itu, Jen. Tapi, percayalah padaku, pasti ada waktu di mana saat Gerry akan menyadarinya.”

Aku menghela napas berat, lalu menghembuskan perlahan lewat mulut. “Kau benar. Aku memang harus jauh lebih bersabar lagi menghadapinya.”

Raina menepuk bahuku lalu brkata, “Kau memang perkasa!”

Aku terkekeh demi mendengar kata-katanya yang ‘perkasa’ itu. Terkesan seperti akulah seorang wanita yang tertangguh di muka bumi ini karena masih sangat bersabar menghadapi seorang suami yang jarang sekali berada di rumah.
---
Saat aku terbangun di pagi hari, tubuku berada di dekapannya. Lengan kanannya melingkari bahuku, sedangkan yang sebelah kiri melingkari pinggangku. Ah, sudah lama sekali aku tidak merasakan pelukan hangatnya yang seperti ini. Aku sungguh merindukannya—amat sangat merindukannya.

“Astaga!”

Tiba-tiba Gerry berteriak histeris. Ia segera membangkitkan tubuhnya. “Ada apa?” tanyaku penasaran.

“Jam berapa ini?”

“Tujuh kurang,” jawabku tenang. “Ada apa memangnya?”

“Astaga, aku benar-benar telat, Jen! Aku telat!” Gerry beranjak dari tempat tidur, segera aku menarik lengannya.

“Jangan katakan kalau kau harus pergi lagi!”

Gerry membalikkan tubuhnya. “Ya, aku hendak mengatakan itu. Aku memang harus pergi ke Semarang!”

“Ger—”

“Jenny, please!” Gerry berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman tanganku.

“Ini hari Sabtu, Gerry! Hari Sabtu!”

“Jenny! Aku sudah telat!”

“Gerry! Bisakah kali ini saja kau di rumah?”

“Aku benar-benar telat, Jenny!” Gerry menepis lengannya kuat-kuat.

“Oh, begitu? Kau merasa sudah sangat telat? Kalau begitu, kenapa tidak dari dulu saja kau nikahi pekerjaanmu itu? Mengapa kau justru malah menikahiku? Mengapa tidak kau ceraikan saja aku? Aku ini sudah tidak penting lagi di dalam hidupmu, bukan? Yang paling penting di dalam hidupmu hanyalah pekerjaanmu, bukan?”

“Demi Tuhan, Jenny! Tidak ada hubungannya!”

“Tidak ada hubungannya kau bilang? Apa kau sudah gila? Apa kau sudah tidak waras lagi? Kalau begitu, ceraikan saja aku! Aku sudah tidak kuat lagi diperlakukan seperti seorang istri yang tidak anggap!”

“Astaga, Jenny!”

“Pernahkah kau berpikir bagaimana perasaanku saat kau selalu meninggalkanku? Saat kau tidak berada di rumah? Saat aku merindukanmu? Merindukan setiap pelukanmu, ciumanmu, kata-kata manismu, setiap semua perbuatan manismu? Apa kau pernah memikirkan semua hal itu saat kau sedang tidak bersamaku? APA PERNAH?” aku benar-benar sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasi agar intonasiku tidak meninggi seperti tadi.

Aku menghela napas panjang, mencoba untuk sedikit menenangkan pikiranku dan emosiku yang sudah tepat sampai pada puncak kepala. “Bahkan,” suaraku melembut, “kurasa kau tidak ingat kapan terkahir kali kita bercinta, bukan? Dan kau tidak tahu bagaimana rasanya aku sangat merindukan itu semua. Kau bahkan juga tidak tahu di mana saat-saat aku sedang benar-benar ingin sekali makan nasi bebek karena permintaan si cabang bayi…” tak kuasa lagi aku menahan isak tangisku, menahan setiap butiran air mata yang sedari tadi tertampung di kantung mata.

“Jenny…” ujar Gerry lembut, kedua tangannya menyentuh bahuku dan lalu menariknya ke dalam pelukannya. Dan tangisku semakin menjadi-jadi di dalam depakannya. “Maafkan aku… tapi… tapi aku harus benar-benar pergi sekarang ini.”

Tubuhku benar-benar terasa sudah sangat kaku seperti patung saat mendengarnya berkata seperti itu.

“Apakah hatimu sudah benar-benar sekeras itu, Ger?”

“Maaf,” tanggapnya.
---
Entah sudah berapa lembar tissue yang kubuang. Entah sudah berapa banyak air mata yang  terbuang keluar. Entahlah, aku tidak akan mungkin menghitungnya, karena sudah pasti terlalu banyak.

Mungkin memang sudah seharusnya diakhiri saja. Sudah tidak ada lagi tempat untukku di hatinya, tempatku sudah tergantikan oleh pekerjaan yang sangat dicintai dan disayanginya itu. Aku benar-benar sudah tak ada apa-apanya lagi, aku sudah bukan seperti seorang istri.

Sekarang ini, aku hanya bisa berdiam diri di rumah seperti orang bodoh saja—kesepian. Sekelebat memori melintas di otakku. Saat aku duduk berdampingan dengannya di sofa ini, saat di mana ia menciumku, saat di mana ia memelukku, saat di mana ia membisikkan kata-kata manis, dan di mana saat kami bercinta dengan gilanya di sofa ini. Membuat kepalaku sakit saat mengingatnya.

Gerry, Gerry… mengapa hatimu bisa mengeras seperti itu? Why are you being like this?

Ponselku berdering nyaring, menyadarkanku dari lamunan.

Kulihat sejenak nama yang tertera di layar. Gerry? Ada apa ia meneleponku?

“Ada apa, Ger?” tanyaku, tetap mencoba dengan nada biasa saja, walau sebenarnya ingin sekali aku menangis dan berteriak dan mengatakan kalau ia benar-benar keterlaluan! Tapi, kuurungkan niatku untuk melakukan hal tersebut. Karena jika kulakukan, masalah tidak akan selesai.

Are you okay, Jenny?” tanyanya lirih.

Hah? Masih saja ia bertanya apa aku baik-baik saja? Tentu saja jawabannya tidak! Lagi pula, untuk apa ia bertanya? Bukankah selama ini ia tidak peduli denganku kalau sudah dengan pekerjannya?

“Jenny?”

“Ah? Ya… ya, aku baik-baik saja,” jawabku.

“Lalu… bagaimana dengan anak kita? Apa dia juga baik-baik saja?”

Rasanya aku telah tersetrum listrik yang bertegangan seribu volt demi mendengar pertanyaannya. Apakah benar ia sudah menanyakan hal yang baru saja kudengar tadi? Atau memang aku saja yang salah dengar?

“Baik-baik saja kan, Jen?”

“Ah, ya, anak kita baik-baik saja.”

“Aku ingin segera pulang, Jen. Aku sangat merindukanmu, bahkan amat sangat merindukanmu, juga sangat merindukan anak kita… ah, ya, kau mau kubawakan apa dari Semarang?”

And I’m totally shock! I’m speechless. I don’t know what should I say! God, I just can’t believe this! It feels like… seakan waktu dan dunia berhenti untuk berputar.

“Jenny? Mengapa diam saja?”

Mengapa aku diam saja? Karena kau yang membuatku begitu tidak percaya dengan apa yang baru saja kau tanyakan sebelumnya!

“Jenny?”

“Ah? Ya?”

Terdengar Gerry menghela napas di seberang sana. “Kau mau kubawakan apa dari sini?” tanyanya sekali lagi.

Wingko, Mommy! I wanna wingko come into my mouth, Mommy! Aku tersenyum sendiri, seakan aku bisa merasakan anakku berteriak meminta wingko.

“Wingko,” jawabku. “Anakmu berteriak-teriak meminta wingko!” aku tertawa kecil. “Dan… cepatlah pulang, Gerry. Aku juga amat sangat merindukanmu…”

Aku juga mendengar Gerry tertawa di seberang sana. “Benarkah? Anak kita berteriak meminta wingko? Lucu sekali! Ya, aku akan segera pulang. Tunggu aku, Jenny!”

Aku sudah salah. Hatinya tidak sekeras seperti yang kubayangkan, ternyata ia masih mempunyai sisi hati yang ramah dan lembut seperti dulu, seperti di saat pertama aku bertemu dengannya.

Aku tahu, kalau cepat atau lambat, manusia akan segera menyadari segala perbuatannya yang salah. Dan, kita tidak akan pernah bisa memprediksikan kapan waktu itu akan datang. Dan juga, waktu itu akan datang secara dengan tiba-tiba.
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya