Don't Say You Hate Me - Part 1


Umm… hari ini adalah hari yang benar-benar melelahkan untukku. Latihan yang sangat menguras tenaga. Seminggu sampai empat kali latihan untuk lomba yang akan diselenggarakan oleh sebuah produk yang mengadakan kompetisi nasional dua hari lagi nanti. Ya, sabtu besok. Dan sabtu besok pula, LDKS (latihan dasar kepemimpinan siswa) kelas satu akan diadakan, dan aku salah satu panitianya.

Aku menuruni anak tangga satu persatu, berjalan menuju ruang kepsek. Aku hanya berharap dan terus berodoa dalam hati, semoga Pak Risdi kali ini mengubah dan memberikan keputusan yang menyenangkan, yah hanya itu.

Pintu ruang kepsek sedikit terbuka.

Irvan? Aku melihatnya sedang berbicara dengan Pak Risdi. Tanpa maksud yang disengaja, aku mendengar pembicaraan mereka berdua, tapi sebelumnya aku sudah menduga dari pertama, kalau Irvan sedang minta izin untuk pertandingan basket yang juga akan diselenggarakan.

“Hem… baik saya izinkan. Tapi ingat! Kalian harus bisa memenangkan lomba tersebut!” ujar Pak Rizdi.

Apa? Diizinkan? Pak Risdi benar-benar keterlaluan! Kenapa basket diberikan izin untuk tanding, sedangkan cheers? Masih dipertimbangkan?! Dan aku yakin banget kalau Pak Risdi nggak akan ngasih izin cheers untuk tanding.

“Ngapain lo diri disini? Nguping lo ya?”

Aku sontak kaget, Irvan sudah keluar dari ruangan Pak Risdi. “Ngupingin kamu? Ih, pede gila!” aku langsung masuk ke ruangan Pak Risdi. “Siang, Pak!” sapaku.

“Siang. Silahkan duduk, Put!”

“Umm… Pak, gimana keputusan cheers? Boleh ikut kan, Pak?” tanyaku penasaran.

Pak Risdi diam sejenak lalu berkata, “Setelah saya pikir-pikir. Lebih baik… tahun depan saja kalian ikut lomba itu.”

“Apa? Kok gitu sih, Pak? Nggak fair dong! Basket aja boleh ikut, tapi kenapa cheers nggak boleh?”

“Putri, kamu itu kan panitia LDKS dan juga ada anak kelas satu yang harus jadi peserta, dan itu wajib harus di ikutinya!”

“Tapi, Pak…”

“Pokoknya keputusan Bapak, tidak! Dan tidak dapat diganggu gugat!”

Aku memasang tampang kesal, kuhentakkan kakiku dengan kerasnya lalu kutinggalkan Pak Risdi tanpa salam atau apa pun.

Irvan tertawa puas saat melihat wajahku tertekuk saat keluar dari ruangan Pak Risdi. “Hahahahaa emangnya enak gak di izinin?”

“Ha-ha-ha? Lucu ya?” kupelototi Irvan. Lalu kuhentakkan lagi kakiku dengan keras, langsung kutinggalkan Irvan. Dia itu memang orang yang paling menyebalkan! Kapten basket yang serba ‘sok’! Yah, lihat saja nanti, apa yang kulakukan dengnnya nanti.

Sepulang sekolah, aku meminta untuk para anggota cheers kelas satu dan kelas duanya untuk berkumpul. Yah, tentunya untuk membahas tentang perlombaan yang tidak disetujui Pak Risdi.

“Put, ada apaan sih emangnya kita di kumpulin? Kan nggak latihan?!” suara Rani memecahkan keheningan.

Aku menghela nafas sejenak. “Kayaknya untuk tahun ini kita gak bisa untuk ikut pertandingan.”

“Loh? Kenapa emangnya? Percuma dong kita udah latihan sejauh ini, tapi malah gak jadi?” sambung Ayu.

“Aku minta maaf banget… Pak Rizdi gak ngasih izin,” aku mencoba meramahkan kata-kataku.

“Yaa tapi kenapa, Kak?” timpal Ines, anak kelas satu yang menjadi flyer di tim inti.

“Ya karena siapa lagi kalo bukan karena dia sendiri sama anak kelas satu itu!” suara Irvan yang tanpa di undang memasuki ruangan.

Mau apa lagi sih dia? “Kamu? Ngapain di sini?” tanyaku kesal.

“Kenapa? Gak suka?” balasnya, “asal kalian tau ya, kalian nggak boleh ikut lomba itu karena kapten kalian itu kan panitia LDKS, dan anak kelas satu itu jadi peserta yang harus dia ikutin. So, gak di bolehin deh,” lanjutnya.

“Kamu itu gak ada hubungannya sama sekali di sini! Jadi aku minta sekarang kamu KELUAR!!” kesabaranku benar-benar sudah habis untuknya.

“Jelas ada dong! Basket tanding nanti kan harus ada kalian. Inget, ada gula ada semut. Jadi mau nggak mau ya harus mau!”

“Aku kasih tau ya, kali ini, cheers nggak bakal jadi pemandu buat basket lagi!” jawabku kesal.

“Oh ya? Well see ajalah!” Irvan langsung meninggalkan ruangan.

Anak itu… aku nggak akan kasih ampun buat dia kali ini. Selama ini aku sudah cukup bersabar buat ngadepin dia. Tapi, selalu saja dia mencari masalah.

“Terus gimana dong nih, Put?” tanya Rista.

Cancel,” kataku dengan nada pasrah.

Pak Risdi benar-benar gak fair! Cuman hal sepele gitu aja nggak di izinin. Lagipula peserta sama panitia yang nggak hadir kan cuman dua, jadi kenapa harus diribetin sih? Aku engga akan ngebiarin basket bertanding gitu aja dengan lancar.

Hemm… apalah arti sebuah pertandingan tanpa kapten? Liat aja. Perang, baru akan dimulai. Wait me! Irvan!
----
“Kak Putri,  di panggil Pak Risdi di ruang kepsek!” kata Ines mengingatkan.

Aku langsung berjalan menuju ruang kepsek. Hah, lagi-lagi aku harus melihat sosok yang paling menyebalkan! Kenapa dia ada di sini juga?

“Pagi, Pak!” sapaku.

“Pagi. Duduk!” jawab Pak Risdi.

“Kenapa, Pak, manggil saya?” tanyaku penasaran.

“Gini loh, Put, seperti biasa, basket lusa kan ada tanding, jadi cheers harus jadi supporter,” jelas Pak Risdi.

Irvan yang duduk disebelahku hanya tersenyum pernuh arti.

“Sebelumnya maaf, Pak, tapi kami dari anak cheers sudah sepakat untuk nggak jadi supporter basket lagi.”

“Bohong, Pak! Itu bukan kesepakatan anak cheers, itu cuman keinginannya dia sendiri aja. Soalnya dia dendam, Pak, sama saya, makannya dia nggak mau!” lanjut Irvan.


Ugh. IRVAN! Andai aja nggak ada Pak Risdi. Aku udah tabok mulut kamu itu.

“Bener itu Putri?” Pak Risdi mulai menyelidik.

“Iya, Pak, abisnya….”

“Sudah! Pokoknya mau nggak mau cheers harus menjadi supporter. Masa iya cuman sekolah kita sendiri yang gak ada supporter dari cheers? Tengsin dong! Lagipula, kalian kan udah sering tampil bareng,” lanjut Pak Risdi

Tanpa ba-bi-bu lagi, langsung kutinggalkan Pak Risdi dan Irvan yang super duper nyebelin. Pokoknya, aku harus balas dendam sama Irvan! Seenaknya aja dia minta anak cheers buat jadi supporter. Mentang-mentang dia kaptennya. Aku juga kan kapten, aku juga berhak dong menolak permintaan.

Besok sudah hari H. Besok rencanaku harus berhasil! Jangan panggil aku Putri kalo gak bisa ngegagalin pertandingan besok. Liat ya, Van, ini akibatnya karena kamu seenaknya sama aku. Jangan anggap kalo aku ini lemah. Walaupun aku perempuan, aku masih bisa berbuat apa pun yang aku mau. Dan kamu.…
----
“GO IRVAN!! GO! GO! IRVAN GO!! YEEEAAAA!! AYO IRVAANN! PASTI BISAAA!! GIVE ME AN I, GIVE ME AN R, GIVE ME…” sorak anak cheers.

Apa-apaan sih mereka? Norak deh! Kenapa hanya Irvan saja yang disoraki? Kan, masih ada pemain yang lainnya. Aku hanya diam terpaku ditempat, menyilangkan kedua tangan di depan dada. Alis kanan kunaikan. Bergerak malas.

Priiitt…

Tanda pertandiangan di quarter pertama telah usai. Inilah saatnya memulai aksiku. Kali ini aku harus bersikap baik dengannya. Aku telah menyiapkan minuman khusus untuk Irvan. Kusodorkan minuman tersebut padanya.

Thanks!” mata Irvan menyipit. “Tumben lo baik sama gue?” lanjutnya sambil meneguk minuman dariku.

Ah, kenapa dia harus bertanya seperti itu? membuatku jadi gelagapan saja. “Umm, salah ya kalo aku berbuat baik?” tanyaku balik.

“Enggak sih… tapi tumben aja lo bersikap baik gitu sama gue. Jangan-jangan….”

“Aku nggak ada niat apa-apa sama kamu kok, aku tulus kok baik sama kamu.”

Irvan hanya menganggukan kepalanya.  Dia gak tau, kalo minumannya itu udah aku kasih obat bius ringan, dan pembiusannya butuh waktu sekitar dua puluh menit. Tepat dengan perhitunganku.

Priiitt…

Lima menit usai sudah. Tanda untuk melanjutkan permainan di quarter kedua. Aku melihat Irvan berjalan mulai sedikit sempoyongan sambil menggelengkan kuat kepalanya. Pertandingan dimulai kembali. Waktu terus berjalan kian detik dan kian menit...

Bola dipegang Irvan. Ia siap melakukan slam dunk. Yep, slam dunk-nya berhasil mencetak dan menambah score. Tangannya masih tertahan di ring basket, matanya terlihat sudah sangat sayu.

Satu… dua… ti….
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya