Happily Ever After - Part 1


“Ok, let me think it over! Umm…”


Wajah Jiwa penuh harap akan adanya ide bagus yang keluar dari otak Intan, sahabat karibnya.


Waktu terus berjalan, sudah hampir satu jam Intan belum menemukan ide cemerlangnya. Ia masih memutar otaknya juga matanya yang bulat dan besar. “Oh, come on!” Jiwa tidak bisa menunggu lebih lama lagi.


Wait!” sontak Intan lalu brfikir kembali.


Mata Jiwa terbelalak lebar. Gila apa ya nih orang? Udah hampir sejam, masih belom ada aja ide yang kepikir. Mikirin apaan sih? Jangan-jangan bukan mikirin ide, malah mikirin si gembleng katro itu lagi, ah elaaah, cepatlah sedikit Tan!! Batin Jiwa.


“Nah!” suara keras Intan atau dapat dibilang teriakan Intan membuat Jiwa tersentak.


Jiwa mengusap dadanya. Sing legowo Jiw, legowooo! Jiwa memejamkan matanya, ingin sekali rasanya ia menjitak sahabatnya itu, seringkali Intan membuatnya tersentak setengah mati.


I’ve got an idea! A brilliant idea!” ujar Intan sambil tersenyum nakal.


Kening Jiwa mengkerut. “What’s that? Tell me!”


“Sini-sini gue bisikin.” Jiwa mendekatkan wajahnya. Intan langsung membisikkan ide cemerlangnya itu. Mata Jiwa terbelalak lagi. “What a fucking stupid an idea!” Jiwa tidak setuju dengan ide yang dibilang sahabatnya itu cemerlang, menurutnya itu adalah ide terkonyol yang pernah ia dengar. Intan menatap Jiwa heran. “What’s wrong, honey?


I can’t do that!” jawab Jiwa ketus.


Why not? Oh come on, hon, don’t be a spoilsport!”


I told you, I can’t do that,” Jiwa menatap tajam mata Intan. “Jadi, dari tadi lo mikir ampe sejam cuman dapet ide knoyol kayak gitu? Ngga deh ya, Tan, gue ngga mau! Itu sama aja kayak gue maksain kehendak gue, Tan, ngga mau ah gue, gila aja lo!”


Intan kesal. “Kenapa si, Jiw? Coba dulu lah, siapa tahu aja berhasil, toh kalo berhasil lo juga kan yang seneng?” bujuk Intan.


“Intan, kalo kata gue itu emang udah pasti berhasil, tapi lo tahu kan, kalo ini tuh sampe ke ‘jenjang’ pernikahan! Coba kalo tiba-tiba dia sadar dan tahu semuanya? Terus, dia langsung ninggalin gue gitu aja, gimana coba? Dan di saat itu, gue udah nikah sama dia. Lo ngga mikir panjang apa?”

Intan diam. “Ya udah ya, Jiw, sekarang gini aja deh. Inget pesen nyokap lo! Kalo seminggu ini lo belom dapet calon pilihan lo sendiri, apa lo mau di jodohin sama si anak ‘boyot’ alias bocah idiot itu? Iih… gue sih ogah banget kali! Lo ngga mau kan? Cobalah pikirin baik-baik lagi!”


Giliran Jiwa yang terdiam. Ia mencoba memikirkan ide konyol Intan tadi. Tapi, apa tidak sangat egois kalau ide itu dijalankan? Walaupun pasti berhasil dan membuatnya bahagia akan hidup bersama pria yang selama ini dicintainya dan telah memendam perasaan hampir belasan tahun lamanya. Tapi, apa bisa Jiwa melakukan itu semua demi kepentingan dirinya sendiri?


Hening…

“Jiwa… lo ngga bisa bohongin perasaan lo sendiri!” ujar Intan memecahkan keheningan.


“Tapi….” potong Jiwa.


“Tapi apa?” lanjut Intan. “Lo cinta kan sama, Diki?” tanya Intan. Jiwa menggguk pelan. “Ya udah tunggu apa lagi? Urusan buat dia bikin cinta sama lo itu belakangan, Jiw, yang penting sekarang lo itu setuju apa ngga?”


Jiwa berpikir kembali lalu perlahan kepalanya dianggukkan. “I-iya gue mau deh jalaninnya.” Jujur dalam hatinya yang paling dalam, tidak ingin dikatakannya ‘iya’ tapi, mau bagaimana lagi?


“Nah, gitu dooong… dari tadi kek!”


“Tapi, Tan,”


“Ngga ada tapi-tapian, lo ikut gue sekarang!’

----
“Diki!” panggil Jiwa dari kejauhan.


Diki membalikkan tubuhnya. “Jiwa?” dilihatnya Jiwa yang sedang berlari-lari kecil menghampirinya.


Hosh… hosh… hosh… Jiwa mengatur nafasnya sejenak.


“Kenapa, Jiw?” tanya Diki.


Sedikit nafasnya telah teratur. “Lo sibuk ngga?” tanya Jiwa balik.


Diki menggeleng. “Engga, kenapa emang?”


“Umm, gue mau ngomong sesuatu sama lo, tapi empat mata aja ya.”


Kening Diki mengkerut. “Empat mata?” tanya Diki lagi. Jiwa mengangguk cepat. “Umm, oke.”


“Ikut gue yuk!” Jiwa menarik lengan Diki.


Diki menatap sejenak lengannya. Jiwa juga tiba-tiba terhenti dan merasakan tangannya. Ia langsung melepasnya. “Sorry, ngga maksud kok,” Jiwa jadi salah tingkah.


“Ngga pa-pa kok,” jawab Diki.


Jiwa menuntun Diki berjalan ke temapat yang ‘aman’ baginya untuk bisa ‘melakukannya’. “Duduk, Dik.”


Diki tersenyum dan duduk bersebalahan dengan Jiwa. “Mau ngomong apa, Jiw?” tanya Diki penasaran.


“Ngga, sebenernya gue cuman mau nunjukin permainan baru yang baru abis gue dapet aja hehe…”


“Oalaaah, cuman msalah mainan doang?” Diki tertwa kekuh. “Ya udah oke, coba tunjukin ke gue sekarang, gue mau lihat!” Dengan sigap Jiwa langsung menyodorkannya. “Loh kok? Maksudnya apa? Cuman garis-garis sama lingkaran yang semakin kecil kayak gini doang?” tanya Diki heran.


Jiwa tersenyum. “Dengerin gue ya. Coba lo lihat itu garis-garisnya baik-baik, coba lo pikirin dengan baik, garis-garisnya itu lurus atau melengkung? Lo cukup perhatiin aja dan ngga usah ngomong apa-apa, ngerti?” Diki mengangguk. “Ya udah, sekarang lo mulai perhatiin deh tuh garis!” perintah Jiwa. Diki terlihat begitu menyimaki. “Dan semakin lo bingung, itu semakin ngebuat lo terbawa ke alam bawah sadar lo. Semakin dalam, semakin dalam dan semakin dalam terjatuh ke alam bawah sadar lo.” Tiba-tiba kepala Diki tergeletak.


“Untuk orang yang gue sentuh, dengerin apa perintah gue. Untuk orang yang gue sentuh, dengerin perintah gue, dan ikutin dalam hati. Ngerti? Kalo ngerti anggukin kepala lo.” Diki mengangguk. “Ikutin dalam hati. Ngga ada orang lain yang gue cintai dan gue sayangi selain Jiwa. Sekali lagi, ngga ada orang lain yang gue cintai dan gue sayangi selain Jiwa. Kalo udah anggukin kepala lo.” Diki mengangguk. “Oke, saat nanti ada yang mencubit lo, lo akan bangun dari alam bawah sadar lo.”


Jiwa mencubit lengan Diki. Diki membuka matanya perlahan, matanya menangkap wajah Jiwa yang berada tepat di depannya. “Jiwa?”


Jiwa tersenyum sambil membantu Diki bangun. “Loh, aku kenapa tiduran di sini, Jiw?” tanya Diki heran.


Wow, perfect! Hipnotisnya berjala dengan lancer, Diki sudah menggunakan kata aku-kamu!


“Tadi kamu pingsan, Diki, masa ngga inget sih?”


“Pingsan ya? Oh gitu,” Diki mengangguk mengerti sambil memegangi kepalanya.


“Diki,”


“Iya, Jiwa? Kenapa?”


Jiwa menatap lembut mata Diki. “Diki, aku sayang sama kamu. Kamu jangan pernah ninggalin aku ya,” ujar Jiwa.


Diki tersenyum, dipegangnya kedua tangan Jiwa. “Aku ngga akan pernah ninggalin kamu, Aku juga sayang banget, sayang banget sama kamu, jadi mana mungkin aku bisa ninggalin kamu, Jiwa?”


“Dengan keadaan apa pun?”


Diki mengangguk. “Dengan keadaan apa pun!” jawab Diki.


“Janji?”


Diki mengangguk lagi. “Janji.”


Jiwa langsung memeluk Diki erat. “Aku ngga mau kehilangan kamu, Diki, aku sayang banget sama kamu.” Diki membelai rambut panjang Jiwa.


Maafin aku, Diki….


Satu bulan kemudian...


“Saya terima nikah dan kawinnya Najiwa Salsabila dengan seperangkat alat solat dan emas kawin 75 karat dibayar tunai!” ucap Diki di hadapan penghulu.


“Sah?” tanya penghulu kepada saksi.


“SAH…” jawab para saksi.


“Alhamdulillah…”


Jiwa menyalami tangan Diki, sedangkan Diki mengecup kening Jiwa.


Usai akad nikah, Diki dan Jiwa menuju ke gedung resepsi pernikahan dengan mobil yang telah terhias dengan sangat indahnya.


“Jiwaaa!” panggil Intan sambil berjalan cepat.


“Intan? Dateng juga lo akhirnya,” ujar Jiwa.


Intan memeluk Jiwa erat. “Selamet ya, Jiw, akhirnya lo bisa nikah juga sama pangeran impian lo hahaha…”


“Iya makasih ya, Tan.”


Sorry banget tadi gue ngga bisa dateng pas akad nikahan lo, pasti so sweet banget deh pas Diki ijab kobul.” Intan mupeng alias muka pengen.


Jiwa tertwa keukeuh. “Mupeng deh. Ya udah cepet nikah sana!”


“Oh ya, by the way, where’s Diki?” Intan mecari-cari sosok laki-laki yang bernama Diki.


Over there!” Jiwa menunjuk Diki yang sedang asik ngobrol dengan teman-temannya.


Intan dan Jiwa langsung menghampiri Diki. “Hey, Diki!” sapa Intan.


“Intan, baru keliatan lo,” ujar Diki.


Intan tidak menjawab. “Selamet ya, akhirnya kalian nikah juga.”


“Iya thanks ya, Tan,” jawab Diki ramah.


Don’t mention it,” balas Intan kembali.


“Sayang, aku nemenin temen aku sebentar ya, kasian mereka udah dateng jauh-jauh masa dicuekin? Kan ngga enak,” kata Diki sambil mengecup kening wanita yang kini telah menjadi isterinya.


“Iya, sayang,” Jiwa mengeluarkan seulas senyum manisnya. Intan menarik lengan Jiwa, membawanya ke tempat yang lebih sepi dan jauh dari para tamu undangan yang datang. “Mau kemana sih, Tan?” tanya Jiwa penasaran.


Intan menemukan tempat yang ia inginkan. Ia menatap mata Jiwa. “Jiw, lo udah berapa lama jadian sama Diki?” tanya Intan. Jiwa berfikir sejenak. “Udah sekitar sebulan kan?” lanjut Intan.


Jiwa mengangguk. “Umm, iya sekitar sebulanan. Kenapa sih emangnya?” Jiwa semakin penasaran.


“Lo inget kan apa kata Tante Tia?” tanya Intan lagi.


Jiwa berfikir lagi...

“Hipnotis itu hanya bertahan lama selama dua bulan saja, dan setelah itu, orang yang akan kamu hipnotis akan sadar kembali…”

Mata Jiwa terbelalak lebar. “Tante Tia? I-iya gue inget, masalah… hipnotis itu, kan?” Jiwa mengecilkan suaranya.


Intan mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya. “Tinggal sebulan lagi dong lo sama dia…” Jiwa hanya menunduk. Intan mengangkat wajah Jiwa yang telah terbasahi oleh tetesan air matanya. “Itu emang resiko yang harus diambil, Jiw. Gue tahu ini ngebuat lo sangat sakit, tapi….”


“Kamu di sini toh, aku cariin kamu kemana-mana juga.”


Jiwa dan Intan sontak kaget saat melihat Diki hadir di antara mereka. Jiwa buru-buru mengusap kedua mata dan pipinya.


“Kamu kenapa, sayang? Kamu abis nangis?” tanya Diki sambil membantu mengusap pipi isterinya itu.


Jiwa menggeleng cepat. “Ng-ngga, a-aku terharu aja sama ceritanya Intan tadi. Hehe… cengeng banget ya aku?”


Diki tertwa kecil. “Kamu tuh ada-ada aja deh, sayang. Oh iya, kamu dicariin sama temen Mama tuh.”


Satu bulan kemudian….
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya