Don't Say You Hate Me - Part 2

Satu… dua… ti…

Tangan irvan mulai melepas satu persatu, hingga membuatnya jatuh pingsan dan terbanting ke bawah. Kepala dan kakinya membentur keras.

Hemm… akhirnya tikus masuk perangkap! Kunci pertandingan ini ada di kamu, kalau kamu nggak ada, pertandingan nggak akan berjalan dengan lancar, karena dari awal pertandingan, kebanyakan kamu yang mencetak angka.

Tim P3K yang isinya didatangkan dokter terbaik beserta asiten-asistennya  langsung menghampiri Irvan dan menggotongnya ke klinik P3K.

Pertandingan terus di lanjutkan. Irvan di gantikan dengan Rio, dari tim cadangan. Dugaanku benar. Di akhir pertandingan, score sekolahku tertinggal jauh dari SMA Nusantara, yaitu, 83 : 124.

Usai pertandingan, aku berjalan menuju klinik. Aku mendapati Irvan terbaring lemah di atas kasur berselimut putih di sana. Wajahnya pucat. Beberapa menit berlalu, bola matanya mulai bergerak dan terbuka secara perlahan. “Akhirnya kamu sadar juga,” kataku menyambut.

“Gue dimana nih?” tanyanya bingung.

“Di klinik,” jawabku.

“Kok bisa?” tanyanya lagi.

“Tadi kamu pingsan.”

“Kok lo malah senyum-senyum gitu sih? Seneng lo liat gue menderita kayak gini?” Aku hanya menggeleng dan kembali tersenyum. “HAAAHH MAMAAA!!” teriak Irvan.

“Kenapa, Van?” tanyaku sok panik.

“Ka… kaki gue yang kanan gak bisa digerakin sama sekali!”

“Hah? Serius kamu?” kali ini aku bener-bener panik! Aku langsung keluar dan memanggil tim P3K.

“Sakit?” tanya sang dokter saat mengetuk dengkul Irvan dengan alatnya yang berbentuk seperti palu. Irvan hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian, dokter memeriksa detak jantung dan mata. Setelah selesai diperiksa ia mengajakku keluar.

“Gimana, Dok? Ada apa sama temen saya?” tanyaku.

“Akibat jatuh tadi, kakinya membentur keras, sehingga saraf-sarafnya tidak dapat bekerja… membuat kakinya lumpuh permanent,” jelasnya.

“A… apa? Lumpuh? Permanent?” tanyaku yang nggak begitu yakin dengan apa yang baru saja dikatakan dokter itu.

“Ya,” jawab dokter singkat. Ia langsung pergi. Aku menghampiri Irvan kembali.

“Kenapa lo, Put? Emang tadi dokter bilang apaan?”

“Ka… kaki….”

“Kenapa emangnya sama kaki gue?” potong Irvan cepat.

Aku menghela nafas panjang sejenak, dan merunutkan kata-kata yang akan ku ucapkan nanti. “Umm…” aku berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Lumpuh.”

Mata Irvan terbelalak. “A-apa? Kaki gue? Lu… lumpuh?” Aku hanya mengangguk. Aku tahu ini semua salahku, tapi aku nggak tau kalau kejadiannya jadi seperti ini, aku kira dia cuman sekedar pingsan biasa. Tapi ternyata….

Aku menyesal telah berbuat seperti itu. Banyak orang yang aku rugikan, nama baik sekolah jadi down, Pak Risdi yang mengharapkan untuk bisa menang juga marah sekali sama anak basket, karena nggak bisa ngasih kebanggaan selama setahun terakhir ini. Dan yang paling parahnya, aku sampai bikin Irvan lumpuh permanent!

Aku nggak tau apa jadinya kalau Irvan mengetahui yang sebenernya. Mungkin dia akan benci banget sama aku. Dan mengira kalau aku ini hanya membawa malapetaka.

Kenapa aku jadi kepikiran Irvan terus? Nggak ada Irvan, berasa ada yang hilang. “Eh, Ris, Irvan gak masuk lagi ya?” tanyaku ke Rista, teman sekelasnya Irvan.

“Iya, Put. Udah 3 hari ini dia absen. Gue denger kabarnya sih dia mau berenti sekolah gitu.”

“Oh, ya udah thanks ya.”

Apa? Berhenti sekolah? Pasti karena dia kakinya yang lumpuh itu, jadi dia mau berhenti sekolah. Aku gak tau harus berbuat apa lagi. Langsung kuhubungi Irvan. “Halo, Irvan?” kataku sedikit kaku.

“Putri? Ada apaan lo nelfon gue tiba-tiba?”

Klik.

Kuakhiri pembicaraan yang baru dua kalimat itu. Aku nggak bisa. Aku harus nyamperin ke rumahnya langsung. Ya, harus!

Aku bergegas menuju ke rumahnya yang terletak daerah Pondok Indah. Sesampainya di rumahnya, aku melihat seorang wanita paruh baya sedang sibuk meyapu teras rumahnya. Ya, siapa lagi kalau bukan mamanya, Tante Riska, “Siang, Tante!” sapaku.

”Siang.”

“Umm, Irvannya ada, Tan?” tanyaku, lalu kuperkenalkan diriku padanya. “Saya Putri.”

“Kamu temannya Irvan?”

“Iya, Tante.”

Tante Riska mengajakku ke dalam. “Irvan sudah 3 hari ini nggak mau keluar dari kamar, dia ngurungin dirinya terus, nggak mau makan, nggak mau bicara atau pun cerita sama Tante. Coba kamu ajak dia bicara, siapa tau aja dia mau ngomong. Sekalian  Tante minta tolong.”

“Apa, Tante? Mungkin aku bisa bantu.”

“Tante cuman minta tolong sekalian bawa makan siangnya.”

Aku mengembangkan senyumanku. Tante Riska mengantarkanku ke kamar Irvan yang terletak di lantai dua.

Tok.. tok.. tok..

“Siapa?” teriak Irvan dari dalam kamarnya.

“Mama, sayang. Ini ada temanmu mau ngomong sama kamu.”

“Masuk aja! Ngak dikunci!”

Aku memasuki kamarnya dengan langkah hati-hati. Kudapati seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi roda sambil memutar bola basket di atas jarinya telunjuknya yang panjang. Menghadap jendela.

“Van,” sapaku berjalan menghampirinya.

“Ngapain lo kesini?” tanyanya ketus.

Haduh, aku semakin dilanda rasa bersalah mendengar tanggapannya seperti itu. “Aku cuman mau jenguk kamu doang kok, kenapa? Nggak boleh ya? Ya udah kalo nggak boleh aku pergi aja. Makan siang kamu aku taro di a….”

“Ya elah gitu aja ngambek!” langkahku terhenti. Tangannya menahan lenganku.

Deg…. Deg…

Oh my god! Kenapa dengan perasaanku ini? Kenapa tiba-tiba jantungku rasanya langsung berhenti berdetak. Dan…

“Umm… kamu kenapa 3 hari nggak masuk?” aku mencoba menahan perasaan nyeri ini.

“Merhatiin aja lo gue gak masuk. Kangen lo ya ama gue?”

Kangen? Tapi, jujur sih, sejak dia nggak masuk sekolah, aku merasa ada yang hilang. “Yee.. mulai deh pedenya,” jawabku.

“Buat apa gue sekolah kalo gue gak bisa main basket lagi?” nadanya mulai serius.

Aku menghela nafas. “Tapi kan…” aku berhenti sejenak. “Sebenernya… aku yang salah, aku yang udah bikin kaki kamu kaya gitu. Aku minta maaf banget. Kalo kamu mau marah atau nampar aku, tampar aja, aku gak pa-pa kok.”

“Loh? Kok jadi lo yang merasa bersalah gitu sih? Nggak ada sangkut pautnya kali! Aneh lo ah.”

“Adaaa… coba aja waktu itu aku nggak ngasih minuman yang udah aku campurin sama obat bius itu ke kamu, pasti kamu nggak akan kaya gini, Van…”

“Putri… gue itu pingsan karena dari awal sebelum pertandingan emang badan gue kurang sehat aja,” potong Irvan, “tapi gue tetep maksa buat tanding, karena gue nggak pengen ngecewain Pak Risdi…”

“Tapi…”

“Soal minuman itu? Gue udah tau lo ngasih obat bius itu, makannya, gue diem-diem langsung gue tuker minuman itu sama minuman gue yang masih murni! Dan minuman yang lo kasih obat itu gue buang di tong sampah….”

“Jadi…” lagi-lagi Irvan memotong perkataanku.

“Iya, ini bukan salah lo kok. Malah yang seharusnya minta maaf itu gue, karena, gue selama ini udah sering banget ngisengin lo, bikin lo kesel. Maaf ya, soalnya gue lakuin itu…”

“Enggak! Aku yang harus minta maaf sama kamu!” kali ini aku yang memotong perkataanya.

“Yaudah kita saling minta maaf ajalah!”

“Oh iya, tadi kamu bilang apa? Kamu lakuin itu karena apa? Benci sama aku ya? Atau…”

“Bukan… tapi karena…” di ambil nafasnya sejenak, lalu berkata. “Karena… aku… aku gak mau kehilangan kamu, Put…”

Deg…

Jantungku terasa berhenti. Otakku masih terus memutar. Apa yang baru saja kudengar tadi benar-benar keluar dari mulut laki-laki itu?

“Put,” panggil Irvan, “kok malah bengong sih?”

“Hah?” aku sontak kaget

“Hah, hoh!”

“Apaan sih kamu, gak jelas deh!”

Ya Tuhan, kenapa aku jadi gugup seperti ini?

“Aku gak jelas juga karena kamu kan, Put?”

Deg....

“Kok aku sih?”

“Alaaah nggak usah ngalihin pembicaraan lagi! Ngaku deh kalo kamu juga sayang kan sama aku? Kalo nggak, kenapa kamu bela-belain dateng ke rumah aku?”

“Apaan sih kamu? Ge-er deh mulai! Aku ke rumah kamu karena aku kan….”

“Kan? Kangen sama aku hahahaha… ya kan? Ngaku deh!” ledek Irvan.

“Enggaaa!”

Tiba-tiba saja Irvan meraih lembut kedua tanganku. Matanya menatap lembut mataku. Aku berlutut di hadapannya. Ah, lagi-lagi perasaan ini muncul. Aku membalas tatapan lembut itu.

“Aku janji sama diri aku sendiri. Aku nggak akan bikin kamu kesel lagi, nggak akan ngisengin kamu lagi. Dan aku janji bakal bikin kamu terus tersenyum dan bahagia.”

Aku mendengar kata-kata itu tulus keluar dari mulutnya. Aku tersenyum lalu berbisik. “Me too.”

Irvan langsung memelukku. “Kalo cinta tuh jangan bilang benci!” bisik Irvan tepat di telingaku.

Aku terbelalak. “IRVAAANN!!”

 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya