Seperti Aku dan Dia

Aku bersandar di dinding yang dingin, dengan kepala mendongak ke atas melihat taburan bintang yang bercahaya pada malam hari. Lalu aku tersenyum.

"Sedang apa malam-malam di luar balkon?" seorang laki-laki mengenakan kaus oblong putih menghampiriku dan ikut duduk bersandar di dinding tepat di sampingku.
Aku tersenyum kecil sambil menolehkan kepalaku. "Aku senang," kusandarkan kepalaku di bahu laki-laki itu.

"Aku juga, kau tahu?" tanya Danny sembari mengusap kepalaku. "Aku tidak menyangka kalau kita sudah seperti ini. Kukira dulu aku benar-benar tidak akan bisa bersama denganmu. Tapi ternyata..." Danny tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya menatapku lembut, selembut kecupan yang ia berikan padaku saat ini.

Aku bisa merasakan ketulusan padanya, tersirat dari mata cokelatnya yang indah. Hubungan yang selama ini kami perjuangkan ternyata tidak sia-sia begitu saja. Banyak rintangan yang harus kami lalui, terutama pada saat papa tidak mau merestui pernikahan kami berdua, hanya karena alasan yang menurutku sangat klise. Papa tidak ingin mempunyai mantu yang tidak mempunyai pekerjaan yang cukup mapan, atau dapat dibilang tidak punya pekerjaan tetap. Tapi alasan itu tidak membuat Danny mengurungkan niatnya untuk mempersunting diriku. Ia berusaha dan terus berusaha, hanya untuk mendapatkan restu itu. Dan ternyata ia dapat membuktikannya dengan usaha yang tanpa henti.

Sekarang Danny sudah mempunyai pekerjaan tetap. Dan papa cukup bangga akan hal itu, hal yang sudah Danny lakukan demi menunjukkan betapa ia mencintaiku dan ingin hidup bersamaku. Aku pun juga begitu.

"Bagaimana anak kita?" bisik Danny tepat di telingaku.

Aku tersenyum sebelum menjawab pertanyaannya. "Baik-baik saja," jawabku sambil mengelus perutku yang sekarang ini sudah cukup membesar. "Sepertinya anak kita laki-laki," lanjutku.

Danny langsung menggeleng. "No! Aku ingin anak pertama kita perempuan! Biar cantik seperti ibunya," goda Danny, dan itu membuatku tersipu malu.

Memang, dari dulu Danny selalu menginginkan anak yang pertama lahir adalah perempuan. Karena ia selalu beranggapan, kalau anak perempuan yang lebih tua, pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan anak laki-laki yang hanya berpikir dengan logika mereka, tanpa menggunakan perasaan.

Yah, aku cukup bersependapat dengannya. "Perempuan atau laki-laki itu sama saja, yang penting anak pertama kita lahir dengan normal dan selamat, Sayang."

Danny mengulas senyum di bibirnya, sekali lagi ia mengecup keningku dengan lembut. "Lebih baik kita masuk ke dalam, udara malam seperti ini tidak baik untuk tubuhmu juga anak kita."

Aku menangguk. Danny membantu untuk bangkit dan masuk ke dalam kamar.

Kini taburan bintang yang baru saja kulihat bercahaya, semakin memancarkan sinarnya bersama bulan, seakan mereka adalah sebuah pasangan yang tidak akan pernah bisa dipisahkan. Mereka bersama-sama memancarkan sinarnya sendiri dan saling menghiasi bumi nan indah ini. Seperti aku dan Danny.

*tanpa klimaks
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya