Love Is Crazy

Karena Nayla yang terus mendesakku untuk menceritakan yang sebenarnya tentang hubunganku dengan Jodi, akhirnya aku pun bercerita padanya. Tentang pertengkaran itu, keseharian di kantor setelah pertengakaran terjadi, kata-kata bijak yang diberikan Santi untukku, dan masih banyak lagi hal yang terjadi setelah hubunganku dengan Jodi berakhir. Semua itu kuceritakan secara detail pada Nayla, agar ia tidak penasaran lagi.

Broke up exactly!” aku membenarkan kata-kata Nayla.

Nayla menghela napas panjang, matanya menyelidik. “Mau sampai kapan kau akan seperti ini, Mayra?” tanyanya dengan nada gelisah.

Aku menanggapi dengan mengangkat kedua bahuku. “Entahlah, mungkin aku dan dia sudah tidak akan bisa bersama lagi. Toh, sekarang aku jadi bisa leluasa dengan laki-laki di luar sana. Dia pun juga begitu, hubungannya dengan Ghina tidak akan—”

Hey! Are you crazy? Kau tidak bisa bohongi perasaanmu sendiri, Mayra! Kenapa kau jadi liar begini sih?”

Mataku terbelalak lebar saat Nayla berkata ‘liar’. Apa maksud dari kata liar itu? Apa ia beranggapan aku ini adalah seorang wanita rendahan yang mau diajak kencan dengan laki-laki mana pun? Aku tidak serendah itu!

Hendak menanggapi perakataannya itu, Nayla sudah mendahuluinya. “Sikapmu benar-benar sudah sangat keterlaluan, Mayra!” kini nadanya menjadi ketus. “Ke mana Mayra dulu yang aku kenal? Kau tidak sebodoh ini, Mayra! Sudahlah, mau sampai kapan kau akan larut terus dalam masalah yang tidak pernah berakhir ini?”

It was over, Nayla!” aku langsung menyela, jengah juga lama-lama mendengar Nayla yang terus-terusan saja berpihak pada laki-laki itu. Yah, berpihak secara tersirat. “I’ve told you, he wasn’t mine!

But—

Aku memotongnya lagi, “Enough! I don’t wanna talk about him anymore! It’s bothering me you know?! Dan juga hanya akan bisa membuat emosiku semakin memuncak!”

Nayla terkekeh. “Emosimu yang semakin memuncak? Atau rasa rindumu yang akan semakin memuncak pada laki-laki itu?” godanya. Dan itu sangat tidak lucu!

Mataku terbelalak lagi. Rindu? Sejak kapan aku merindukannya? Mengingat namanya hanya akan bisa membuat emosiku memuncak sampai ke ubun-ubun. Sungguh, mengapa Nayla bisa berargumen seperti itu? Apa aku terlihat seperti sedang merindukan seseorang? Kurasa tidak. Nayla pasti hanya bergurau sekedar meredakan emosiku saat ini saja.

“Sudahlah, Mayra. Mau sampai kapan kau akan membohongi perasaanmu sendiri?”

Enough is enough, Nayla!” sergahku cepat. Emosiku bisa meludak dengan cepatnya dan kepalaku akan bisa pecah mendengar Nayla yang terus saja berbicara tanpa henti. Aku hanya berharap seseorang menyelamatkanku dari keadaan yang sangat tidak aku inginkan ini! Tuhan, tolonglah kirim seseorang, siapa pun itu!

Seorang pelayan wanita paruh baya menghampiri meja kami, lalu menyodorkanku secarik kertas putih. Aku mengernyitkan dahi sejenak sebelum menerima secarik kertas tersebut. Setelah itu, pelayan tersebut pergi meninggalkan meja. Dengan rasa penasaran, aku langsung membalik kertas itu dan mendapati sebuah deretan sebelas angka.

Aku menolehkan kepala ke setiap sudut kafe. Mencari-cari siapa yang mengirim nomor teleponnya di atas kertas yang ada di genggamanku sekarang ini. Lalu aku mendapati sosok laki-laki yang duduk tidak jauh dariku, ia tersenyum mengarah padaku. Tidak salah lagi, pasti lelaki itu pengirimnya!

Aku balas tersenyum. Kuperhatikan sejenak, senyumnya manis, cukup menarik dan tampan juga wajah laki-laki itu, tidak beda jauh dengan….

Ah! Tidak, tidak! Aku tidak boleh memikirkannya lagi! Enough, Mayra! Just forget it!

Kutolehkan lagi kepalaku dan menadapati Nayla menatap tajam ke arahku. Kedua tangannya melipat di depan dada. Lalu menghela napas panjang. “This is the first time kau menerima benda tersebut! Kau benar-benar sudah gila, Mayra!” katanya datar, tapi penuh arti.

Aku melengos. “Sesuka diriku mau berbuat apa. Toh, aku sekarang bebas melakukan apa saja yang aku mau, tidak perlu lagi ada yang menghalanginya… termasuk kau, Nayla! Walaupun kau itu sepupuku sekaligus sahabatku, it doesn’t mean you can change my mind! Love is crazy, Nayla, remember that!

Aku sempat bertanya dalam hati. Pertama kalinya? Aku mengarahkan kepalaku lagi pada laki-laki di sana, lalu menyunggingkan senyum di bibir. Senyum laki-laki itu memang sangat manis, mendukung wajah tampannya.

Masa bodoh dengan pendapat orang tentangku sekarang ini. Aku hanya ingin tidak terpuruk dalam kesedihan, dan aku hanya ingin melupakan laki-laki itu! Aku yakin aku pasti akan bisa melupakannya dengan kehadiran sosok itu. I have to try first. Nothing is impossible! Aku tersenyum penuh arti.

Sepertinya sekarang aku memang benar-benar sudah gila!
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya