You're The One

Mayra! Wait, Mayra!

Kurasakan tanganku diraih kuat. Aku mendengus kesal. Ada perlu apa lagi ia mengejarku seperti ini? Bukankah sejak hubungan kami berkahir, ia tidak pernah angkat bicara? Lalu, mengapa secara tiba-tiba ia mengejarku seperti ini? Sungguh aneh!

Wait a sec, Mayra!” cegahnya.

Aku tidak langsung memutar tubuhku untuk berhadapan dengannya. Sengaja aku tidak ingin menampakkan wajahku sekarang di hadapannya.

Is he yours now? Apa kau dengan laki-laki itu berhubungan?” tanyanya tanpa basa basi.

Aku tidak menjawabnya. Malas. Tiba-tiba saja Jodi menarik lenganku dengan paksa untuk ke luar dari dalam lounge. What is it with this man? Kedua alisku bertaut.

“Kenapa kau lakukan ini padaku, Mayra? Kenapa kau malah menjalin hubungan dengan laki-laki lain dengan cepatnya seperti ini?”

Kedua alisku semakin berkerut heran, kenapa nada suaranya jadi tinggi seperti itu? Marah? Aku langsung menepis cengkramannya dengan kasar dari lenganku.

“Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, jadi kau tidak usah ikut campur! Kau bukan siapa-siapaku!” Aku mendengus kesal. Biar tahu rasa! Seenaknya saja ia marah-marah padaku seperti itu.

“Aku hanya ingin mengingatkanmu saja, Mayra,” suaranya kini melembut, “kalau dia itu tidak pantas untukmu…”

Aku tertawa kekeh mendengar Jodi berbicara seperti itu. Tidak pantas untukku? Punya hak apa ia berkata seperti itu?

“Lantas, siapa yang pantas untukku?” tanyaku ketus.

Jodi terdiam, tidak langsung menanggapi. Ia bergumam mencoba mencari jawaban. Aku tahu, aku bisa menebak sikapnya yang seperti itu.

“Siapa?” tanyaku lagi.  “Kau?” aku tergelak. Aku tahu memang itu yang akan dijawabnya.

Jodi tampak tersentak, ia langsung mengangkat wajahnya dan menatapku cukup lama. Jengah ditatap seperti itu, aku langsung melengos, mengalihkan pandangku dari tatapan matanya.

Perlahan, kedua tangan Jodi meraih tanganku lembut. Aku kembali menolehkan kepalaku dan mendapati mata Jodi berkaca-kaca. Apa ia ingin menangis? Tuhan, kenapa hatiku jadi bergetir seperti ini?

“Ya,” jawabnya lembut, selembut tatapan matanya saat ini. “Yang pantas ada di sisimu hanya aku, Mayra. Aku yang pantas untukmu!”

Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Bibirku terkunci rapat. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Kata-katanya… tatapan matanya… benar-benar… tulus. Aku bisa merasakan akan hal itu.

Please, Mayra. Just forget all! You know, you’re the one I love. I promise I’ll never meet her again whereas she want, I’ll do—

Stop it!” potongku cepat. Aku tidak ingin dengar Jodi berbicara lagi.

Aku menghela napas dalam. Mencoba menenangkan pikiranku yang sedang tidak karuan ini. Hatiku bergetir—nyeri mendengar semua kata-kata tulusnya itu. Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang ini? Aku tidak sanggup melihat matanya. Mungkin, memang harus sudah diakhiri semuanya. Tapi… mengingat semua kejadian itu, hanya akan membuat hatiku sakit jika bersama dengannya lagi. Tapi… begitu akan banyak kata ‘tapi’ jika aku kembali bersamanya.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi.

“Mayra,” panggil seseorang dari belakang. Refleks aku langsung melepaskan tanganku dari genggaman Jodi.

“Kukira kau sudah menungguku di dalam mobil.” Ray telah berdiri tepat di sampingku.

“Ray,” sapaku balik. Duh, mengapa aku jadi salah tingkah seperti ini? Semoga saja Ray tidak akan curiga melihatku bersikap aneh saat ini. “Um, aku… ah, sudahlah! Kau sudah selesai? Tidak ada yang ketinggalan di dalam sana kan?” aku mencoba mengalihkan pembicaraannya.

Ray tersenyum mengangguk. Lalu perhatiannya diarahkan pada Jodi. Ray segera mengulurkan tangannya. “Rayhan, panggil saja Ray.”

Jodi membalasnya dengan ragu. “Jodi,” ujarnya kurang bersahabat, ia mengalihkan lagi perhatiannya ke wajahku, ia tersenyum kecil—memaksa. “Gotta go, see you soonMayra.” Jodi langsung berlalu begitu saja. Ia juga tidak mengucapkan selamat tinggal pada Ray.

“Dia hanya mengucapkan selamat tinggal padamu saja, Mayra? Tidak dengan diriku?” tanya Ray heran dengan kerutan di dahinya itu.

“Dia memang begitu kalau dengan seseorang yang baru saja dikenalnya,” jawabku sekenanya, dan Ray mengangguk mengerti.

Aku memandangi punggung Jodi yang semakin menjauh dari hadapanku. Melihatnya pergi, dadaku terasa semakin sesak, mengingatkan akan setiap kenangan yang selalu kami lewati bersama, terutama saat di peron MRT China Town. Tanpa sadar, aku berkata dalam hati, you’re the one too. Perasaanku saat ini memang sangat sulit sekali diartikan. Mungkin hanya Tuhan yang bisa mengartikan dan tahu akan perasaanku ini.
 
Masterpiece © 2008 Dessy Amalya. Supported by Dessy Amalya